Di atas argo parahyangan Bandung-Jakarta

Aku adalah penikmat transportasi darat, itupun hanya terbatas pada transportasi di jalan raya, mulai dari sepeda motor, angkot, metromini, kopaja, bis, baik yang terintegrasi (transjakarta) maupun tidak, sampai transportasi online yang sedang marak saat ini. Semuanya sudah kucoba, yah segala yang berawal dari coba-coba akhirnya akan menjadi terbiasa bukan? Setelah sekian lama baru  kusadari,ternyata semua ada runtutannya. Jelas sekali, seakan baru kulalui. Hmm sambil menghabiskan waktu diatas kereta ekonomi di tengah malam, bolehlah aku bercerita sedikit sejarahku dengan transportasi umum. 


Saat masuk Sekolah Dasar,  letak rumah yg tidak begitu jauh dari bangunan sekolah menjadi alasan untuk berjalan kaki setiap hari, mungkin sekitar 500 meter saja jaraknya, atau mungkin lebih sedikit, yang pasti aku selalu datang sekitar 5 menit sebelum bel masuk berbunyi, beresiko memang, tapi tahu apa aku di umur segitu, paling hanya berkutat antara jajan yu minah dan petak umpet di belakang sekolah, selebihnya aku tak pernah berpikir apa itu resiko. 

Beranjak remaja, aku masuk ke sekolah menengah pertama favorite di kampungku, skalanya lebih besar, bangunannya lebih megah dan yang terpenting bagiku, jaraknya makin jauh, kurang lebih satu setengah kilometer. Hmm, ditingkatan ini hukum berangkat 5 menit sebelum bel masuk tak bisa kuterapkan. Aku harus berjalan kaki setengah jam sebelum bel ( efek berjalan sambil ngobrol, yang membuat berjalan menjadi tidak terasa, tapi? waktu berlari begitu cepatnya ~) belum lagi kalau ada janji samper-menyamper ( jemput) teman-teman disekitar rumah yang terkadang memerlukan waktu lebih lama. Teman memang jadi acuan di masa ini. 

Seiring berjalannya waktu aku pun naik tingkat lagi ke sekolah menengah atas, jarak juga semakin menjauh, drastis malah, antar kabupaten. Yah aku diterima di salah satu sekolah favorit di kabupaten sebelah, yang katanya memiliki tingkat pendidikan lebih baik ketimbang kotaku tinggal. Jaraknya? Tak terhitung, patokanku hanyalah 2 jam perjalanan dengan menaiki bus antar kota antar provinsi, bayarnya? Cukup 2 ribu rupiah untuk pelajar, dan sudah dipastikan  terlambat menjadi hal biasa. 

Bagaimana tidak, meski lama kelamaan terbiasa menaiki bus supercepat (efek jalan raya mulus dan bebas hambatan) rasa takut untuk menyetopnya bis masih terasa hingga sekarang. Belum lagi jarak gerbang pertama ke gerbang kedua di sekolah dan peraturan tak tertulis macam seberapa-cepatnya-kau-berlari-takkan-pernah-berhasil karena salah satu guru yg paling disiplin biasanya sudah menunggu di POS sebelum gerbang kedua. Lama-kelamaan saya justru terbiasa, hukuman 40x mengelilingi lapangan atau membaca Al Qur'an 3 juz yang biasanya menghabiskan 2-3 jam membuat saya terbebas dari jam pelajaran pertama (huft jangan ditiru). 


Setelah 3 tahun lamanya menimba ilmu di SMA, saya pun diwisuda dan lagi-lagi, jarak sekolah semakin jauh, di ibukota. Gagal di beberapa universitas ternama membuatku terdampar di sekolah tinggi swasta, yah mungkin sudah jalan dari Tuhan :). Menariknya, selama berkuliah hampir semua alat transportasi sudah kucicipi, yang meskipun beberapa diantaranya tidak kurasakan setiap hari. Seperti saat ini, kali pertama aku naik kereta antar kota jurusan Bandung-Jakarta sendirian. Ternyata susah juga tidur di kereta padahal suasananya sangat mendukung, hmm mungkin efek kopi yang terlalu kuat, atau otakku yang masih terjaga, entahlah, sekarang aku mulai pegal menulis, baiknya kusudahi saja ceritanya. Sekian, sampai jumpa di Jakarta.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah ADAB BERTETANGGA

DIMENSI ALIRAN PEMIKIRAN ISLAM

“Sejarah Perkembangan Psikologi dan Aliran-alirannya