“Perbuatan Kaum Mu’tazilah”

PENDAHULUAN

Latar Belakang
      Dalam perkembangan zaman Islam terbagi menjadi 73 aliran. Dan yang akan selamat yaitu cuman satu, yaitu yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW dan para Sahabatnya (Khulafaur Rasyidin). Dan kaum yang akan selamat itu ialah Ahlussunah Wal-Jama’ah.
      Disini pemakalah ingin menjelaskan sedikit tentang paham mu’tazilah, yang menurut paham Ahlussunah Waljama’ah adalah dhallun-mudhillun (sesat lagi menyesatkan). Seperti :
1. Kapan munculnya aliran Mu’tazilah ?
2. Apa pokok-pokok ajaran Mu’tazilah ?

 PEMBAHASAN 
Asal-usul Mu’tazilah
      Perkataan Mu’tazilah berasal dari kata “pitizal”, artinya menyisihkan diri. Kaum Mu’tazilah berarti kaum yang menyisihkan diri. Ada beberapa pendapat yang menerangkan sebab-sebab maka kaum ini dinamai Mu’tazilah, yaitu :
  1. Ada seorang guru besar di Baghdad, namanya Syeikh Hasan Basri (meniggal 110 H). Diantara muridnya ada seorang yang bernama Wasil bin ‘Atha (meniggal 131 H). Pada suatu hari ada seseorang yang bertanya kepada Hasan Basri tentang orang Islam yang telah iman kepada Allah dan Rasul-Nya tetapi melakukan dosa besar dan meninggal dunia sebelum bertaubat, apakah ia kafir sebagaimana  sebagai mana yang dikatakan oleh kelompok Khawarij atau tetap mukmin dan perbuatan maksiat tidak memiliki pengaruh sebagaimana dikatakan oleh Murji’ah ?
Menurut Hasan Basri orang Islam yang telah iman kepada Allah dan Rasul-Nya tetapi melakukan dosa besar dan meninggal dunia sebelum bertaubat, maka orang itu tetap muslim, tetapi muslim yang durhaka. Di akhirat nanti, kalau ia wafat sebelum taubat dari dosanya, ia dimasukkan ke dalam neraka buat sementara untuk menerima hukuman atas perbuatan dosanya, tetapi sesudah sesudah menjalankan hukuman ia dikeluarkan dari dalam neraka dan dimasukkan kedalam surga sebagai seorang mu’min dan muslim.
Wasil bin ‘Atha’ tidak sesuai dengan pendapat gurunya. Menurut ia pelaku dosa besar tidak mu’min dan juga tidak kafir atau sring disebut dengan Manzilah baina Mazilatain. Dan mulai saat itu Wasil bin ‘Atha’ keluar dari majelis gurunya dan kemudian mendirikan majelis lain.
Oleh karena itu maka Wasil bin ‘Atha’ dinamai kaum Mu’tazilah, karena mengasingkan diri dari gurunya. Dalam mengasingkan diri ini ia diikuti oleh kawannya, namanya Umar bin ‘Ubeid. Sejarah tak mencatat tanggal hari dan bulan perceraian, tetapi kalau umpamanya usia Wasil ketika itu 40 tahun yaitu usia seseorang yang yang sudah bertanggung jawab, maka gerakan ini dimulai tahun 120 H, karena lahirnya Wasil bin ‘Atha’ adalah pada tahun 80 H.
Jadi dapat dikatakan secara bulat bahwa permulaan munculnya paham Mu’tazilah pada permulaan abad ke 2 H, dengan guru besarnya Wasil bin ‘Atha’ dan Umar bin Ubeid. Yang berkuasa ketika itu Khalifah Hisyam bin Abdul Muluk dari Bani Umaiyah, yaitu tahun 100 H sampai tahun 125 H.
2.   Adapula orang mengatakan, bahwa sebabnya mereka dinamai Mu’tazilah ialah karena mengasingkan diri dari masyarakat. Orang-orang Mu’tazilah ini pada mulanya adalah orang-orang Syiah yang patah hati akibat menyerahnya Khalifah Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib kepada Khalifah Mu’awiyah dari Bani Umaiyah.
Mereka menyisihkan diri dari siasah (politik) dan hanya mengadakan kegiatan dalam bidang ilmu pengetahuan. Demikian dikatakan oleh Abdul Hasan Tharaifi, pengarang buku “Ahlul Hawa wal Bida”.
Kalau ucapan ini benar, maka tanggal permulaan gerakan Mu’tazilah ini adalah sekitar tahun 40 H, karena penyerahan pemerintahan Saidina Hasan kepada Saidina Mu’awiyah adalah pada tahun 40 H.
Baik Tharafi maupun Muhammad Abu Zaharah tidak menerangkan nama orang2 yang patah hati itu dan juga tidak menerangkan tahunnya.
Karena itu dalil Tharafi ini tidak begitu kuat, apalagi kalau dilihat dalam kenyataan-kenyataannya, bahwa orang-orang Mu’tazilah dalam prakteknya bukan patah hati tetapi banyak sekali mencampuri soal-soal politik dan bahkan sampai mendominasi Khalifah Al-Ma’mun, Khalifah Al-Mu’tashim dan Khalifah Al-Watsiq dan bahkan ada diantara mereka ada yang duduk mendampingi Kepala Negara sebagai penasehatnya.
      3.   Ada penulis-penulis lain yang mengatakan bahwa kaum Mu’tazilah itu adalah kaum yang mengasingkan diri dari keduniaan. Mereka memakai pakaian yang jelek-jelek, memakai kain yang kasar-kasar, tidak mewah dan dalam hidupnya sampai kederajat kaum minta-minta (Darawisy).
            Keterangan ini pun sangat lemah, karena dalam kenyataannya kemudian,
banyak kaum Mu’tazilah yang gagah-gagah, pakai rumah mewah-mewah, pakai kendaraan mewah-mewah, sesuai dengan kedudukan mereka disamping Khalifah-khalifah.
      4.   Pengarang buku “Fajarul Islam” Ahmad Amin, tidak begitu menerima semuanya itu. Persoalan kaum Mu’tazilah bukan sekedar menyisihkan diri dari majelis guru, bukan sekedar menyisihkan diri dari masyarakat atau sekedar tidak suka memakai pakaian mewah, tetapi lebih mendalam dari itu. Mereka menyisihkan pahamnya dan I’tikadnya dari paham dan I’tikad ummat Islam yang banyak.
 Pendapat ini memang dekat pada kebenaran, karena dari dulu sampai sekarang fatwa-fatwa kaum Mu’tazilah banyak yang ganjil-ganjil, banyak yang diluar paham Nabi dan sahabat-sahabat beliau. Jadi mereka itu benar-benar Mu’tazilah (tergelincir) dalam arti kata yang sebenarnya.

Dasar-dasar pokok ajaran Mu’tazilah
      Dasar-dasar pokok ajaran Mu’tazilah berkisar pada 5 soal :
1.Tauhid (ke Esaan Tuhan)
      Tauhid kaum Mu’tazilah tidak mengetahui adanya sifat tuhan, tetapi Tuhan adalah Zat yang tunngal tanpa sifat. Tuhan mendengar dengan Zat-Nya, Tuhan melihat dengan Zat-Nya, Tuhan berkata dengan Zat=Nya. Sifat tuhan itu tidak ada, kata kaum Mu’tazilah.
      Karena itu mereka memfatwakan dan bahkan pernah memaksa orang orang supaya meyakini bahwa Qur’an itu makhluk, bahwa Qur’an hadits, bukan kata Allah yang qadim.
2. Al ‘Adl (keadilan Tuhan)
      Tuhan Allah itu adil kata kaum Mu’tazilah. Manusia dihukum oleh Tuhan karena ia mengerjakan dosa dan diberi pahala kalau ia membuat amal ibadah yang baik. Oleh karena itu (kata kaum Mu’tazilah), sekalian perbuatan manusia diatas dunia ini dibuat dan diciptakan oleh manusia sendiri, biar perbuatan baik atau perbuatan buruk. Semua pekerjaan manusia tak ada sangkut pautnya dengan Tuhan dan bahkan Tuhan tidak tahu apa yang akan dilakukan manusia.
3. Al Wa’du wal Wa’id (janji baik dan janji buruk)
      Tuhan telah berjanji (kata kaum Mu’tazilah), bahwa siapa yang durhaka akan dihukum-Nya dan siapa yang mengerjakan pekerjaan baik akan diberi-Nya upah. Oleh karena itu sekalian orang yang berbuat dosa tidak akan diampuni-Nya lagi kalau ia wafat sebelum taubat, dan akan terus masuk neraka tak keluar lagi. Ini sesuai janji-Nya.  
4. Manzilah bainal Manzilatain
      Akan tetapi, kalau orang Mu’min berbuat dosa maka ia dihukum didalam neraka disuatu tempat, lain dari tempatnya orang kafir. Nerakanya agak dingin, mereka tinggal diantara dua tempat, yakni antara surga dan neraka. Ini adalah pokok ajaran keempat kaum Mu’tazilah, yaitu “tempat diantara dua tempat”.
5. Amar ma’ruf nahi munkar
      Adapaun “amar ma’ruf” dan “nahi munkar” adalah wajib bagi setiap orang islam. Akan tetapi yang ma’ruf bagi kaum Mu’tazilah ialah hanya pendapat mereka, bukan ma’ruf yang sesuai dengan Qu’an dan Hadits.

      Berdasarkan pangkal yang lima ini banyaklah fatwa-fatwa kaum Mu’tazilah yang bertentangan dengan fatwa dunia Islam. Oleh karena itu kemudian umat Islam telah sepakat menetapkan bahwa paham dan I’tikad kaum Mu’tazilah adalah salah, tak sesuai dengan I’tikad Nabi dan sahabat-sahabatnya, tidak sesuai dengan ajaran Qur’an dan Hadits.

I’TIKAD KAUM MU’TAZILAH YANG BERTENTANGAN DENGAN KAUM AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH

1.Baik dan buruk ditentukan aqal
      Kaum Mu’tazilah berpendapat, bahwa buruk dan baik ditentukan oleh aqal. Mana yang baik kata aqal baiklah dia dan mana yang buruk kata aqal buruklah dia.
      Kepercayaan seperti ini tidak dibenarkan oleh kaum Ahlussunnah Waljama’ah, karena yang menentukan buruk dan baik itu adalah Tuhan dan Rasul-Nya, atau katakanlah Qur’an dan sunnah, bukan aqal.
      Bagi Ahlussunnah, aqal itu dipakai untuk meneliti, sebagai alat pelaksana, bukan menentukan hokum sesuatu. Yang sebenar-benarnya berhak menentukan hokum-hukum adalah Qur’an dan sunnah, yang lain tidak diakui oleh kaum Ahlussunnah bahwa aqal itu diberi wewenang tertinggi untuk memahami sesuatu, baik masalah yang kecil ataupun masalah yang besar, dan bahkan untuk mengenali wujud-Nya Allah dan sifat-sifat-Nya dipergunakan juga aqal pikiran.
      Diakui bahwa dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menyuruh manusia mempergunakan aqalnya dan mengejek orang-orang yang tidak mau memakai aqalnya.
      Akan tetapi dalam menetapkan hukum, ini halal atau haram, ini pahala atau dosa, dan menetapkan hal-hal yang terjadi di alam ghaib, seperti syurga dan neraka, hari berhisab dan hari pembalasan, semuanya itu hanya ditetapkan oleh syariat dari Tuhan, karena agama itu punya Tuhan, bukan punya aqal.
      Ulama-ulama Ahlussunnah berpendapat bahwa aqal manusia itu tidak tetap, satu kali sesuatu hal dikatakannya baik, tetapi tahun depan hal itu dianggapnya buruk.
      Dan pula aqal itu berbeda-beda, aqal orang primitive itu lebih rendah derajatnya dari aqal orang-orang yang telah mempunyai kecerdasan. Kalau hukum ditetapkan oleh aqal niscaya akan kacau balaulah hukum itu.
      Inilah suatu pertentangan yang sangat tajam antara Mu’tazilah dan Ahlussunnah Waljama’ah yang membawa sifat-sifat hukum.

2. Tuhan Allah tidak mempunyai sifat
      Kaum Mu’tazilah megatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Tuhan mendengar dengan Zat-Nya, Tuhan melihat dengan Zat-Nya, Tuhan berkata dengan sifat-Nya. Kata mereka, dasar paham ini ialah tauhid. Kalau Tuhan pakai sifat, berarti Tuhan dua, zat dan sifat.
      Paham ini bertentangan dengan paham Ahlussunnah  yang mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat, bukan satu bukan dua, tetapi banyak. Ada sifat yang mesti (wajib) ada pada Tuhan, ada yang mustahil (tidak mungkin) ada pada Tuhan dan ada yang harus ada pada Tuhan.
      Di dalam Al-Qur’an termaktub :
“Dialah Tuhan, tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang tersembunyi dan yang terang. Dia yang pengasih dan penyayang” (Al-Hasyar : 22)
      Dalam ayat ini terang ada nama zat, yaitu Allah dan ada sifat-Nya yaitu “’alimun” (yang mengetahui).
      Menurut tata bahasa Arab “’alimun” disini ialah sifat bagi Allah. Semuanya orang Arab dan orang yang mengaji bahasa Arab, mengetahui hal ini. Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, karena itu harus diartikan Qur’an itu sesuai dengan tata bahasa Arab.
      Maka heranlah kita kenapa kaum Mu’tazilah berpaham bahwa Tuhan tidak mempunya sifat ?
      Kaum Mu’tazilah khawatir kalau-kalau Tuhan menjadi dua, yaitu sifat dan zat, yang menghilangkan dasar tauhid mereka.
      Berbeda dengan kaum ahlussunnah sifat Tuhan ialah sifat yang qadim yang berdiri diatas zat yang qadim.
Kesimpulannya Kalau Tuhan tidak mempunyai sifat (kata kaum Mu’tazilah) samalah dengan orang kaya tapi tak punya harta. Hal ini mustahil tak masuk aqal adanya”.
3. Qur’an itu makhluk
      Kaum Mu’tazilah pada abad ke 2 dan 3 H telah menggoncangkan umat Islam selama 300 tahun pada abad-abad permulaan Islam. Kau Mu’tazilah pernah dalam sejarahnya membunuh ribuan ulama Islam dalam suatu peristiwa yang dinamai “ Peristiwa Qur’an itu makhluk”. Kepercayaan ini lanjutan dari paham mereka bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat.
      Kaum Ahlussunnah berpendapat bahwa Qur’an itu kalam. Allah dan sifat Allah yang qadim, bukan makhluk yang baru.
      Dalam sebuah syair bahasa Arab klasik, tersebut :
“Bahwasannya yang dikatakan kalam adalah yang dalam hati, sedang suara yang keluar dari lisan itu hanyalah bentuk yang lahir ddari apa yang ada dalam hati itu”.
      Lebih jauh bacalah dan teliti ayat Qur’an di bawah ini :
“Dan jika salah seorang dari orang musyrik minta perlindungan kepada engkau maka berilah perlindungan, sampai ia mendengar Kalam Allah (Qur’an)” (At-Taubah : 6)
      Imam Ghazali meyakinkan kita, bahwa Qur’an adalah kalam Tuhan dan sifat Tuhan yang qadim. Adapun huruf-huruf tertulis dalam mashaf, atau suara-suara yang kedengaran dari mulut seseorang  ketika membaca Qur’an adalah “madlul” dari Qur’an yang qadim yang berrdiri diatas Zat Tuhan itu.
      Hanya orang-orang Mu’tazilah berkeras kepala mengatakan bahwa Qur’an (Kalamullah) itu makhluk. Fatwa yang sesat lagi menyesatkan.   
     
4. Pembuat dosa besar
      Pangkal masalah yang menceraikan Washil bin ‘Atha dengan gurunya Syeikh Hasan Basri ialah “Masalah orang mu’min yang mengerjakan dosa besar, tetapi tidak taubat sebelum mati”.
      Hasan Basri berpendapat, bahwa orang mu’min yang kebetulan mengerjakan dosa besar seperti membunuh manusia, mendurhakai ibu bapak, dan lain-lain tidak menjadi kafir dengan perbuatannya itu. Ia tetap orang mu’min, tetapi mu’min yang durhaka. Kalau ia meninggal sebelum taubat,ia dihukum dalam nerakabeberapa waktu, tapi kemudian dikeluarkan dan dimasukkan kedalam surga setelah selesai menjalankan hukumannya.
      Tapi Washil bin ‘Atha berpendapat lain. Orang mu’min yang mengerjakan dosa besar dan mati sebelum bertaubat, maka ia dimasukkan kedalam neraka dan kekal selama-lamanya seperti orang kafir, tetapi hukumannya diringankan, nerakanya tidak sepanas neraka orang kafir. Inilah yang dinamakan oleh kaum Mu’tazilah “Manzilah bainal manzilatein”, atau “tempat diantara dua tempat”.
      Fatwa ini tidak sesuai dengan kaum Ahlussunnah Waljama’ah. Karena menurut kaum Ahlussunnah orang mu’min yang mengerjakan dosa besar dan mati sebelum taubat, maka orang itu tetap mu’min, disembahyangkan, dimandikan, dan dikuburkan sebagai orang mu’min. Pada hakikatnya ia mu’min durhaka kepada Tuhan.
      Orang macam itu di akhirat nanti (menurut Ahlussunnah Waljama’ah) akan mendapat beberapa kemungkinan :
-Boleh jadi dosanya diampuni saja oleh Tuhan dengan kemurahannya, karena Tuhan itu pengasih dan pemurah, sesudah itu ia dimasukkan kedalam surga tanpa hukuman.
- Boleh jadi ia dapat syafa’at dari Nabi Muahammad Saw, yakni dibantu oleh Nabi Muhammad Saw, sehingga ia dibebaskan Tuhan dan tidak mendapat hukuman dan langsung masuk surga.
- Kalau yang dua diatas tidak didapat maka ia akan dihukum dan dimasukkan ke dalam neraka buat seketika, dan akhirnya di keluarkan sesudah menjalani hukuman dan dimasukkan kedalam surga, kekal selama-lamanya karena ia orang mu’min pada waktu di dunia.
      Inilah tiga kemungkinan bagi orang mu’min yang kebetulan mengerjakan dosa besar dan tidak taubat sebelum mati. Begitulah I’tikad kaum Ahlussunnah Waljama’ah.
Tuhan berfirman :
      “Bahwasannya Tuhan tidak mengampuni dosa seseorang kalau ia dipersekutukan, tetapi diampuninya selain dari pada itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Siapa yang mempersekutukan Tuhan sesungguhnya ia telah memperbuat dosa yang sangat besar.” (An-Nisa :48).
      Jadi menurut ayat ini siapa saja yang membuat dosa besar-kecil, kalau dosa itu tidak mempersekutukan Tuhan, maka ia bisa diampuni oleh Tuhan. Bukan seperti I’tikad Mu’tazilah yang mengatakan bahwa sekalian pembuat dosa besar menjadi kafir dan masuk neraka langsung buat selama-lamanya.
      Dapat diambil kesimpulan dari ayat diatas bahwasannya orang yang mengerjakan dosa tidak kekal didalam neraka (seperti I’tikad Mu’tazilah) tetapi akan keluar sesudah menjalani hukuman. Inilah I’tikad Ahlussunnah Waljama’ah.

5. Tuhan tidak dapat dilihat
      Kaum Mu’tazilah memfatwakan bahwa Tuhan tidak bisa dilihat walaupun di dalam surga, karena hal itu akan menimbulkan tempat solah-olah Tuhan ada dalam surga atau dimana ia dapat dilihat.
      Paham ini berlawanan dengan paham kaum Ahlussunnah Wajama’ah yang berpendapat bahwa Tuhan akan dilihat oleh penduduk surga, oleh hamba-hambanya yang saleh yang banyak mengenal Tuhan ketika hidup di dunia.
      Tuhan berfirman :
      “Beberapa muka dihari itu bercahaya gilang-gemilang, melihat kepada Tuhannya.” (Al-Qiyamah : 22-23)
      Jelas dalam ayat ini firman Tuhan menerangkan bahwa Tuhan dapat dilihat dalam surga.
      Maka heranlah kita melihat jalan pahamnya kaum Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Tuhan tidak bisa dilihat walaupun dalam surga sekalipun.

6. Mi’raj Nabi Muhammad Saw
      Kaum Mu’tazilah tidak mengakui dan tidak meyakini bahwa Nabi mi’raj (naik) kelangit pada tanggal 27 Rajab, satu tahun sebelum Hijrah ke Madinah. Yang diakui oleh mereka hanya “Isra” saja, yaitu berjalan malam dari Mekkah ke Mesjid Aqsha (Baitul Maqdis). Mi’raj itu tidak masuk akal, kata Mu’tazilah, wa;aupun ada hadits sahih menerangkannya.
      Fatwa ini dilawan oleh kaum Ahlussunnah Waljama’ah, yang berpendapat bahwa Nabi pada malam itu Isra dari Mekkah ke Baitul Maqdis dan sesudah itu naik dengan tubuh dan ruhnya ke langit ketujuh, naik lagi samapi Mustawa, Sidratul Muntaha, dimana beliau ketika itu menerima perintah sembahyang lima waktu sehari semalam dari Allah SWT.
      Orang-orang kafir ketika itu berteriak-teriak mengatakan bahwa Muhammad bohong, tak masuk akal dan lain-lain.
      Kalau umpamanya Nabi hanya menerangkan bahwa ia bermimpi naik kelengit malam tadi, kenapakah orang-orang kafir membohongkan beliau ?
      Ini saja sudah bukti, bahwa Nabi pada waktu itu menerangkan bahwa beliau, tubuhnya dan ruhnya naik kelangit, sehingga orang-orang kafir mengatakan bahwa beliau dusta dan tak masuk akal.
      Tuhan berfirman :
      “Maha suci Tuhan yang membawa hamba-Nya malam hari (Isra’) dari mesjid haram (Makkah) sampai mesjid Aqsha (Yerussalem), yang telah kami berkati sekelilingnya, supaya Kami perlihatkan keterangan-keterangan Kami kepadanya, sesungguhnya Dia (Tuhan) mendengar lagi melihat (Isra’ : 1).
      Dalam ayat ini nyata benar bahwa Nabi Muhammad Saw, berjalan malam hari dari Mesjid Makkah sampai ke Mesjid Aqsha di Palestina, dengan ruh dan tubuhnya, karena perkataan “Isra’” tidak bisa diartikan selain berjalan dengan tubuh dan ruh. Begitu pula perkataan “hamba” dalam ayat ini, tidak bisa diartikan ruh saja, tetapi ruh dan tubuh.
      Dan juga kalau dengan mimpi, maka hal itu tak mengherankan, tidak mungkin dijadikan dalil atas kerasulan Beliau dan mukjizat Beliau, karena mimpi bukan mukjizat. Ketika Nabi mengabarkan situasi Mi’raj dihadapan umum pagi-pagi hari sepulangnya beliau dari Mi’raj, maka orang kafir berteriak-teriak dan bertepuk-tepuk membohongkan Nabi.
      Pendeknya kabar Mi’raj menimbulkan kegaduhan yang besar diantara orang-orang kafir dan bahwa kabar Mi’raj yan disampaikan Nabi adalah bohong. Nah ini suatu tanda bahwa Nabi menerangkan perjalanannya pada waktu Mi’raj dengan ruh dan tubuhnya.
      Maka heranlah kita menuruti paham kaum Mu’tazilah yang bertentangan dengan dunia Islam.
      Kesimpulannya ialah kaum Ahlussunnah Waljama’ah beri’tikad seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad Saw Isra’ dan Mi’raj ke langit pada tanggal 27 Rajab, satu tahun sebelum hijrah ke Madinah, dengan ruh dan tubuh beliau.
7. Manusia menjadikan pekerjaanya
      Kaum Mu’tazilah mengi’tikadkan bahwa pekerjaan manusia diadakan oleh manusia itu sendiri, bukan oleh Tuhan. Tuhan sama sekali tidak tahu apa yang sedang dan akan dilakukan manusia.
      Tetapi Al-Jahizh, salah seorang Imam Mu’tazilah berfatwa agak lain, yang dijadikan manusia adalah perbuatannya yang buruk dan yang berdosa, sedangkan perbuatanya yang baik dijadikan oleh Tuhan. Jadi 50% berlawanan dengan I’tikad Ahlussunnah Waljama’ah yang menyatakan bahwa sekalian yang terjadi, baik yang dibuat oleh manusia sekalipun, dijadikan oleh Tuhan.
      Tuhan berfirman :
      “Dan Tuhan yang menjadikan kamu dan sekalian pekerjaan kamu.” (Ash-Shaffat : 96)
      “Katakanlah (Hai Muhammad) : Sekaliannya dari Tuhan” (An-Nisa : 78)
      Ini adalah bukti bahwa semua perbuatan manusia yang baik maupun buruk dijadikan oleh Tuhan, bukan dijadikan manusia seperti paham kaum Mu’tazilah

8. ‘Arsy dan Kursi
      Kaum Mu’tazilah tidak percaya dan tidak meyakini adanya “arsy” dan “kursi”. Mereka bertanya (sebagai cemooh) dimana ditaruhnya kursi itu (mennurut sebuah ayat) lebih besar dan lebih luas dari langit dan bumi ? Diatas apa ‘arsy diletakkan dan kenapa tidak jatuh kebawah ?
      Kaum Mu’tazilah mengatakan kata-kata ‘arsy dan kursi yang termaktub dalam Qur’an mereka putar artinya, ‘arsy berarti ‘kerajaan” dan kursi berarti “pengetahuan”.
      Kepercayaan ini berlainan dengan dengan kepercayaan kaum Ahlussunnah Waljama’ah yang mempercayai seyakin-seyakinnya bahwa ‘arsy dan kursi itu ada.
      Tuhan berfirman :
      “Kursi Tuhan itu luas meliputi langit dan bumi” (Al-Baqarah : 255)
     
      Kalau “kursi” dalam ayat ini diartikan dengan “ilmu” dan “pengetahuan” sebagai tafsir kaum Mu’tazilah maka akan terasa janggalnya.
      Cobalah kit abaca umpamanya : ‘Ilmu Tuhan itu luas meliputi langit dan bumi’, maka timbullah pertanyaan  : apakah yang diluar langit dan bumi tidak diketahui Tuhan ?
      Padahal Tuhan Allah mengetahui tiap-tiap sesuatu (Al-Baqarah : 29). Dan lagi dalam soal ‘arsy Tuhan berfirman :
      “Dan Malaikat-malaikat berada pada beberapa penjurunya, dan delapan orang malaikat pada hari itu memikul ‘arsy Tuhanmu.”
      Ayat ini sharih bahwa ‘arsy itu dipikul oleh delapan orang malaikat. Kalau ‘arsy dalam ayat ini diartikan”kerajaan” (kata kaum Mu’tazilah) bertanyalah kita : apakah “kerajaan” dapat dipikul malaikat ?
      Yang hak ialah hakikat I’tikad Ahlussunnah Waljama’ah, bahwa “’arsy” dan “kursi” itu ada, dan yang memberi tahu kepada kita atas adanya ialah Qur’an suci yang tidak pernah bohong.
9. Malaikat Kiraman Katibin
      Kaum Mu’tazilah tidak mengakui adanya Malaikat “Kiraman Katibin” yang bernama Raqib dan ‘Atid yang bertugas menuliskan amalan manusia sehari-hari. Mereka mengatakan bahwa Ilmu Tuhan meliputi sesuatunya, tak ada yang tersembunyi bagi Tuhan dank arena itu Ia tidak membutuhkan penulis-penulis yang akan menuliskan amal manusia sehari-hari.
      Kaum Ahlussunnah Waljama’ah berkeyakinan, bahwa malaikat yang bernama Raqib dan ‘Atid berada di kanan kiri setiap manusia, tiap hari, yang bertugas menuliskan amal-amal- manusia. Yang baik ditulis oleh Raqib dan yang buruk oleh ‘Atid. Walaupun Tuhan mengetahui sekalian pekerjaan manusia tetapi penulis-penulis itu perlu untuk dijadikan saksi di akhirat di hadapa Allah.
Tuhan berfirman :
      “Sesungguhnya untuk kamu ada penjaga-penjaga, penulis-penulis yang mulia” (Al-Infithar : 10-11)
Kaum Ahlussunnah Waljama’ah percaya kepada ayat-ayat ini, tidak ragu-ragu dan meyakini bahwasannya disamping setiap manusia ada dua orang malaikat yang menuliskan sekalian perbuatannya.
      Apakah hal ini bertentangan dengan akal yang sehat ? Tidak. Hanya kaum Mu’tazilah terlalu jauh memakai akalnya.


10.  Yang kekal
      I’tikad yang ganjil dari sebahagian kaum Mu’tazilah ialah tentang penduduk neraka dan surga.
      Umar bin Al-Bahar Al-Jahizh (wafat 255 H). Imam kaum Mu’tazilah, memfatwakan :
      a. Manusia yang dimasukkan kedalam neraka tidak kekal didalam neraka, tetapi menjadi bersatu dengan neraka, sehingga ia pada akhirnya tak merasa lagi siksaan neraka, karena ia sudah menjadi neraka.
      b. Manusia yang masuk neraka bukan dimasukkan ke dalam neraka, tetapi mereka yang menariknya ke dalam, seperti besi berani menarik jarum ke dekatnya.
      c. Sebahagian lagi kaum Mu’tazilah mengatakan bahwa penduduk surga dan neraka tidak kekal, tetapi setelah lama mereka menerima upah atau menerima hukuman maka mereka dilenyapkan dan surga ke neraka pun dilenyapkan. Pada akhirnya yang kekal hanya Tuhan sendiri.
Demikian diantaranya kepercayaan kaum Mu’tazilah.
      Kaum Ahlussunnah Waljama’ah berpendapat bahwa surga dan neraka bersama penghuninya akan dikekalkan Tuhan buat selama-lamanya bukan kekal dengan sendirinya.
Firman tuhan :
      “Mereka menyeru : Hai Malik ! Dapatlah kiranya Tuhan engkau itu, mengakhiri siksaan in ! Dia menjawab : “Kamu akan tetap tinggal selamanya begitu” (Az-Zukhruf : 77).
      Nah, perharikanlah ayat ini. Orang-orang dalam neraka memohon kepada Malaikat Malik agar Tuhan mengakhiri siksaan yang dijalankannya, maka Malik menjawab bahwa hal itu tidak mungkin, mereka akan dihukum selama-lamanya. Teranglah dalam ayat ini bahwa siksaan itu tak berhenti.
      Kesimpulannya, kaum Ahlusssunnah Waljama’ah beri’tikad bahwa surga dan neraka bersama penghuninya kekal buat selama-lamanya, dan ahli-ahli neraka bukan di tarik masuk kedalam, tetapi dihalau.

11.  Tidak ada Timbangan, Hisab, Titian, Kolam, dan Syafa’at.
      Sebagian kaum Mu’tazilah itu keterlaluan. Mereka mengatakan bahwa di akhirat nanti tidak ada Timbangan (Mizan), tidak ada Perhitungan (Hisab), tidak ada Titian (Shiratalmustaqim), tidak ada Kolam (Haudh), dan tidak ada Syafa’at Nabi.
      Kalau ada dalam Qur’an yang menyebut-nyebut Timbangan dan Hisab maka maksudnya adalah “ke Adilan Tuhan”, kata mereka.
      Mereka mengemukakan dalil aqal, bahwa Tuhan mengetahui semua pekerjaan (baik dan buruk) yang diperbuat oleh manusia. Maka tak perlu semuanya itu : yang saleh dimasukkan ke dalam surga dan yang jahat dimasukkan ke dalam neraka.
      Kaum Ahlussunnah Wal-jama’ah mempercayai bahwa nanti seluruh amal manusia akan ditimbang, mana yang berat, pahala atau dosa.
      Tentang wazan, Tuhan berfirman :
      “Dan timbangan pada hari itu berjalan betul, siapa berat timbangan kebaikannya itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-A’raf : 8)
      Teranglah dalam ayat ini bahwa aka nada “wazan” (timbangan).
      Apakah jadinya kalau ayat ini di takwilkan seperti kaum Mu’tazilah ?
      Tentang Hisab Tuhan berfirman :
      “Sesungguhnya kepada Kami mereka kembali, kemudian adalah urusan Kami untuk menimbang mereka.” (Al-Ghasyiah : 25-26)
      Kenapa Mu’tazlah tidak menerima arti ayat ini dengan lurus sebagaimana diturunkan Tuhan ?
      Tentang titian “Shirathalmustaqim” Nabi bersabda :
      “Diletakkan  titian di alas punggung neraka jahannam, maka saya dan ummat saya yang mula-mula melaluinya. Tidak ada yang senggup bicara ketika itu selain Rasul-rasul. Do’a Rasul-rasul ketika itu ialah : Ya Allah selamatkanlah, selamatkanlah ! (HR Muslim)
      Jelas dalam hadits ini diterangkan bahwa akan ada titian di tas punggung neraka jahannam yang akan dilalui oleh setiap Rasul-rasul pun melalui titian itu.
      Tentang “Kolam” Tuhan berfirman :
      “Saya memberimu hai Muhammad telaga (kolam) Kautsar” (Al-Kautsar : 1)
Dalam ayat ini jelas terdapat telaga Kautsar..
      Tentang syafa’at Nabi Muhammad Saw, banyak sekali terdapat hadits-hadits yang shahih, seperti dalam kitab hadits Bukhari, Muslim dan lain-lain.
      Diantara hadits-hadits tersebut :
      “Syafa’at aku uuntuk umat-umatku yang membuat dosa besar (HR. Tirmidzi)

      Pendeknya, kaum Ahlussunnah Waljama’ah meyakinkan adanya Timbangan, Hisab, Titian, Kolam, dan Syafa’at Nabi Muhammad Saw. Mudah-mudahan kita termasuk ke dalam golongan orang yang mendapat syafa’at dari junjungan kita Nabi Muhammad Saw, amin ya Rabb.
     
12.  Azab Kubur
      Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa azab kubur itu tidak ada, karena bertentangan dengan akal, kata mereka. Kalau ada siksa kubur lantas timbul pertanyaan, apakah yang disiksa itu tubuh saja, ruh saja, atau kedua-duanya ? Kalau tubuh saja tanpa ruh maka tubuh itu tidak merasa apa-apa, kalau ruh saja tanpa tubuh ruh itu ada di dalam kubur dan kalau kedua-duanya apakah mereka bisa hidup, duduk tegak dalam kubur ?
      Kaum Ahlussunnah Waljama’ah meyakini bahwa azab kubur itu ada, karena dalam hadits-hadits Nabi Muhammad Saw, banyak sekali dijumpai keterangan-keterangan tentang azab kubur itu.
      “Ya Allah, saya berlindung kepada-Mu dari siksaan neraka dan siksaan kubur”. (HR Bukhari)
      Dalam do’a Nabi Muhammad ini terang bahwa siksa kubur itu ada, kalau tidak apa gunanya Nabi berdo’a menjauhkan diri dari itu.
      Nampaknya kaum Mu’tazilah tidak menindahkan hadits-hadits shahih yang termaktub dalam kitab-kitab Bukhari dan Muslim.

Kesimpulan
       Kaum Mu’tazilah adalah kaum yang memakai akalnya secara berlebihan dalam menentukan hukum. Menurut mereka derajat akal lebih tinggi daripada Qur’an dan Sunnah. Paham mereka ini melenceng dari mayoritas ajaran umat Islam yang menentukan hukum dengan Qur’an dan sunnah bukan akal.
      Masih banyak lagi fatwa-fatwa kaum Mu’tazilah yang tidak sesuai menurut paham Ahlussunnah Waljama’ah, karena banyak bertentangan dengan syari’at Islam. Kalau satu persatu fatwa-fatwa dan paham kaum Mu’tazilah di kupas tentulah makalah ini akan menjadi tebal dan tidak akan cukup waktu untuk mengerjakannya.

PENUTUP
            Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena dengan rahmat dan karuniaNya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan banyak kekurangan, oleh karena itu kami mengharapkan beribu-ribu kritik dan saran yang bersifat membangun.

Wallahul muwaffiq ilaa aqwamith thariiq.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh.

Daftar Pustaka
      Abbas, KH Sirajuddin., I’tikad Ahlussunnah Waljama’ah., Jakarta., Pustaka
Tarbiyah Baru., 2005.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah ADAB BERTETANGGA

DIMENSI ALIRAN PEMIKIRAN ISLAM

“Sejarah Perkembangan Psikologi dan Aliran-alirannya