Qiyas

PENDAHULUAN


Definisi Qiyas

Secara etimologis, kata “qiyas” artinya mengukur, membanding seuatu dengan semisalnya. Tentang arti qiyas menurut terminology (istilah hukum), terdapat beberapa definisi berbeda yang saling berdekatan artinya. Diantara definisi-definisi itu adalah :

- Al-Ghazali dalam Al-Mustashfa, memberi definisi qiyas :
Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hokum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum.”

- Qadhi Abu Bakar memberikan definisi qiyas :
            “Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu tang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama diantara keduanya.”

- Abu Zahrah memberikan definisi qiyas :
            “Menghubungkan sesuatu perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya kepada perkara lain yang ada nash hukumnya karena keduanya berserikat dalam ‘illat hukum.”

            Qiyas merupakan suatu cara penggunaan ra’yu untuk menggali hukum syara’ dalam hal-hal yang nash Al-Qur’an dan Sunnah tidak menetapkan hukumnya secara jelas.

            Dasar pemikiran qiyas itu yaitu adanya kaitan yang erat antara hukum dengan sebab. Hampir dalam setiap hokum diluar bidang ibadah, dapat diketahui alasan rasional ditetapkannya hukum itu oleh Allah Swt. Alasan hokum yang rasional itu oleh ulama disebut ‘illat. Disamping itu dikenal pula konsep mumatsalah, yaitu kesamaan atau kemiripan antara dua hal yang diciptakan Allah. Bila dua hal itu sama dalam sifatnya, tentu sama pula dalam hukum yang menjadi akibat dari sifat tersebut. Meskipun Allah Swt hanya menetapkan hukum terhadap satu dari dua hal yang bersamaan itu, tentu hukum yang sama berlaku pula pada hal yang satu lagi, meskipun Allah dalam hal itu tidak menyebutkan hukumnya.

            Hal-hal atau kasus yang ditetapkan Allah hukumnya sering mempunyai kesamaan dengan kasus lain itu tidak dijelaskan hukumnya oleh Allah, namun karena ada kesamaan dalam hal sifatnya dengan kasus yang ditetapkan hukumnya, maka hokum yang sudah ditetapkan itu dapat diberlakukan kepada kasus lain tersebut.

            Atas dasar keyakinan bahwa tidak ada yang luput dari hokum Allah, maka setiap Muslim meyakini bahwa setiap kasus atau peristiwa yang terjadi pasti ada hukumnya. Sebagian hukumnya itu dapat dilihat secara jelas dalam hal syara’, namun sebagian yang lain tidak jelas. Diantara yang tidak jelas hukumnya itu mempunyai kesamaan sifat dengan kasus yang sudah dujelaskan hukumnya. Dengan konsep mumatsalah, peristiwa yang tidak jelas hukumnya itu dapat disamakan hukumnya dengan yang ada hukumnya dalam nash. Meskipun secara jelas tidak menggunakan nash, namun karena disamakan hukumnya dengan yang ada nashnya, maka cara penetapan hokum seperti ini dapat dikatakan menggunakan nash syara’ secara tidak langsung. Usaha mengistinbath dan penetapan hokum yang menggunakan metode penyamaan ini disebut ulama Ushul dengan qiyas (analogi).


Qiyas sebagai Dalil Hukum Syara’
           
            Memang tidak ada dalil atau petunjuk pasti yang menyatakan bahwa qiyas dapat dijadikan dalil syara’ untuk menetapkan hokum. Juga tidak ada petunjuk yang membolehkan mujtahid menetapkan hokum syara’ di luar apa yang ditetapkan oleh nash. Oleh karena itu terdapat perbedaan pendapat tentang kedudukan qiyas sebagai dalil hukum syara’.

            Dalam hal penerimaan ulama terhadap qiyas sebagai dalil hukum syara’, Muhammad Abu Zahrah membagi menjadi 3 kelompok, yaitu :

  1. Kelompok Jumhur Ulama yang menjadikan qiyas sebagai dalil syara’. Mereka menggunakan dalam hal-hal tidak terdapat hukumnya dalam nash Al-Qur’an atau Sunnah dan dalam ijma’ ulama. Mereka menggunakan qiyas secara tidak berlebihan dan tidak melampaui batas kewajaran.
  1. Kelompok ulama Zhahiriyah dan Syi’ah Imamiyah yang menolak penggunaan qiyas secara mutlak. Zhahiriyah juga menolak penemuan ‘illat atas suatu hokum dan menganggap tidak perlu mengetahui tujuan ditetapkannya suatu hokum syara’.
  1. Kelompok yang menggunakan qiyas secara luas dan mudah. Mereka pun berusaha menggabungkan dua hal yang tidak terlihat kesamaan illat diantara keduanya; kadang-kadang memberi kekuatan yang lebih tinggi terhadap qiyas, sehingga qiyas itu dapat membatasi keumuman sebagian ayat Al-Qur’an dan Sunnah.



Argumentasi ketiga kelompok ulama tentang penggunaan qiyas tersebut, dapat dikelompokkan lagi kedalam dua kelompok, yaitu: yang menerima dan yang menolak penggunaan qiyas.

Masing-masing kelomppok mengemukakan dalil Al-Qur’an, Sunnah, ijma’ ulama atau sahabat dan dalil ‘aqli.

Dalil yang dikemukakan Jumhur Ulama dalam menerima qiyas sebagai dalil syara’ adalah :


1. Dalil Al-Quran
           
Allah SWT memberi petunjuk bagi penggunaan qiyas dengan cara menyamakan dua hal sebagaimana terdapat dalam surat Yasin ayat 78-79,
“Ia berkata, ‘Siapakah yang akan menghidupkan tulang belulang sesudah ia berserakan ?’ katakanlah, ‘Yang akan menghidukannya adalah yang mengadakannya pertama kali.’”

            Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menyamakan kemampuan-Nya menghidupkan tulang belulang yang telah berserakan dikemudian hari dengan kemampuan-Nya dalam menciptakan tulang belulang pertama kali. Hal ini berarti Allah menyamakan menghidupkan tulang tersebut kepada penciptaan pertama kali.

            Kelompok Zhahiriyah menolak argumentasi ini. Mereka mengatakan bahwa Allah SWT tidak pernah menyatakan bahwa Ia mengembalikan tulang belulang oleh karena Ia yang menciptakannya pertama kali. Allah juga tidak mengabarkan bahwa penciptaan-Nya pertama kali mewajibkan untuk mengembalikannya ke bentuk yang pertama lagi. Seandainya penciptaan tulang pertama kali oleh Allah mewajibkan untuk menghidupkannya kembali, maka wajib pula Allah melenyapkannya sesudah diciptakannya pertama kali, dan berarti Allah akan melenyapkan lagi tulang itu untuk kedua kali sesudah diciptakan yang kedua kalinya. Mengenai hal ini tidak ada seorangpun yang berpandangan demikian. Kalaupun mungkin begitu, tentu Allah akan mengembalikan tulang belulang itu ke dunia untuk kedua kalinya sebagaimana Allah menciptakan manusia pertama kali. Pendapat seperti ini adalah kafir dan tidak ada yang berpendapat demikian kecuali dalam ajaran reinkarnasi. Karena itu, menurut Zhahiriyah, maksud ayat tersebut hanyalah sebagaimana arti zhahirnya, yaitu : Yang sanggup menciptakan sesuatu pertama kali, sanggup pula menghidupkan orang mati.


2. Dalil Sunnah
           
            Diantara dalil sunnah yang dikemukakan Jumhur Ulama sebagai argumentasi bagi penggunaan qiyas adalah :

            Hadits mengenai percakapan Nabi dengan Muaz bin Jabal, saat ia diutus ke Yaman menjadi penguasa disana. Nabi bertanya, “Dengan cara apa engkau menetapkan hukum seandainya kepadamu diajukan sebuah perkara?” Muaz menjawab, “Saya menetapkan hukum berdasarkan kitab Allah.” Nabi bertanya lagi,”Bila engkau tidak menemukan hukumnya di kitab Allah?’ Jawab Muaz, ”Dengan sunnah Rasul.” Nabi bertanya lagi, “ Kalau dalam sunnah engkau tidak menemukannya?” Muaz menjawab, “saya akan menggunakan ijtihad dengan nalar (ra’yu) saya.” Nabi bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasul Allah dengan apa yang di ridhoi Rasul Allah .”

            Hadits tersebut merupakan dalil sunnah yang kuat, menurut Jumhur Ulama, tentang kekuatan qiyas sebagai dalil syara’.

            Namun hadits itu ditolak oleh zhahiriah, baik dari segi matan (teks) maupun dari segi sanad (periwayatan).

            Menurut Zhahiri, dari segi sanad hadits itu dianggap gugur, karena tidak seorangpun meriwayatkan hadits ini diluar jalur periwayatan ini. Indikasi gugurnya itu adalah: pertama, hadits itu diriwayatkan dari suatu kaum yang namanya tidak diketahui, karenanya tidak menjadi hujjah atas orang-orang yang tidak mengetahui siapa perawinya. Kedua, dalam urutan perawinya terdapat Harits ibn ‘Amru yang tidak pernah mengemukakan hadits selain dari jalur ini.

            Kelompok ulama zhahiri juga menilai bahwa hadits tersebut maudhu’ (dibuat-buat) dan jelas kebohongannya, karena mustahil ada hokum yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an padahal Allah telah menegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-An’am (6) ayat 38 :
“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun didalam Al-Kitab (Al-Qur’an).”

            Dari segi artinya, menurut zhahiri, hadits Muadz itu tidak sedikitpun menyebut tentang qiyas dengan cara apapun. Dalam hadits itu hanya disebutkan ra’yu ; penggunaan ra’yu tidaklah berarti qiyas. Ra’yu hanyalah menetapkan hokum dengan cara terbaik, lebih hati-hati dan lebih selamat akibatnya. Sedangkan qiyas menetapkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya seperti hokum sesuatu yang ada nashnya, apakah itu terbaik, secara hati-hati dan berakibat baik tidak.

3. Atsar Shahabi
           
            Adapun argumentasi Jumhur Ulama berdasarkan atsar sahabat dalam penggunaan qiyas adalah, Surat Umar bin Khattab kepada Abu Musa Al-Asy’ari sewaktu diutus menjadi qodhi di Yaman. Umar berkata,

“Putuskanlah hukum berdasarkan kitab Allah. Bila kamu tidak menemukannya, maka putuskan berdasarkan Sunnah Rasul. Jika tidak juga kamu peroleh di dalam Sunnah, berijtihadlah dengan menggunakan ra’yu.”

            Pesan Umar dilanjutkan dengan

“Ketahuilah kesamaan dan keserupaan; qiyaskanlah segala urusan waktu itu”

            Bagian pertama atsar ini menjelaskan suruhan menggunakan ra’yu pada waktu tidak menemukan jawaban dalam  Al-Qur’an maupun Sunnah; sedangkan bagian akhir atsar shahabi itu secara jelas menyuruh mencari titik perbandingan dan kesamaan diantara dua hal dan menggunakan qiyas bila menemukan kesamaan.

            Atsar shahabi tentang pesan Umar kepada Abu Musa Al-Asy’ari itu dibantah oleh ulama Zhahiriah, baik dari segi sanad maupun dari segi maksud matannya..

            Zhahiriyah menganggap atsar tersebut tidak sah sanadnya karena diriwayatkan dari dua jalur sanad, pertama melalui Abdul Malik Ibn Wahid Ibn Mi’dan dari ayahnya. Sanad ini tidak sah karena Abdul Malik sendiri adalah seorang Kufah, periwayatnya matruk (tertolak) dan gugur tanpa sanggahan dari Ulama. Sedangkan ayahnya sendiritidak dikenal menurut versi Abu Muhammad; namun dijelaskan oleh Ibn Hazam bahwa perawi ini hanya dilemahkan oleh Abu Muhammad.

            Atsar tersebut menurut jalur periwayatan kedua adalah munqathi’, karena mulai dari Al-Karji hingga Sofyan, para perawinya tidak dikenal. Karena itu menjadi batal jika menggunakan atsar tersebut sebagai dalil.

Syarat dan Rukun Qiyas

Membicarakan syarat qiyas berarti membicarakan syarat-syarat yang berlaku pada setiap rukun atau unsure-unsur qiyas. Rukun atau unsure qiyas itu sebagaimana telah disebutkan adalah :
a.       Maqis ‘alaih (tempat meng-qiyas-kan sesuatu kepadanya)
Dalam memberikan nama kepada maqis alaih itu terdapat beberapa pendapat. Ada yang menamakannya ashal (sesuatu yang dihubungkan kepadanya sesuatu yang lain). Ada yang menggunakan istilah wadah/ tempat yang pada wadah itu terdapat hokum yang akan disamakan kepada wadah lain. Ada juga yang menyebutnya dengan sesuatu yang memberi petunjuk tentang adanya hokum. Pendapat lain mengatakan bahwa maqis alaih  itu adalah hokum bagi suatu wadah.
     Sangat sedikit sekali pengarang yang mengungkapkan syarat-syarat yang terpenuhi pada ashal maqis alaih, bahkan kadang-kadangbercampur baur dengan persyaratan hokum ashal. Alasanya barangkali karena jumhur ulama sendiri tidak mengisyaratkan apa-apa untuk ashal itu. Meskipun demikian ada juga ulama yang mengemukakan persyaratan sebagai berikut :
a). Harus ada dalil atau petunjuk yang membolehkan meng-qiyas-kan sesuatu kepadanya baik secara nau’i atau syakhsi (lingkungan yang sempit atau maksud terbatas).
     Persyaratan ini dikemukakan ‘Utsman Al-Baththi (‘Utsman ibn Muslim), seseorang ahli fiqh di Bashrah pada masa Abu Hanifah. Namanya dinisbatkan kepada Al-Baththi karena profesinya sebagai saudagar pakaian.
     Jumhur Ulama menolak persyaratan ini karena menurut mereka tidak ada dalil yang mensyaratkannya.
b). Harus ada kesepakatan ulama tentang adanya ‘illat pada ashal maqis ‘alaih itu. Persyaratan ini dikemukakan Basyir Al-Marisi (Basyir ibn Ghiyas bin Abi Karimah), salah seorang tokoh kelompok Mubtadi’ah.
     Jumhur ulama menolak persyaratan ini, karena menurutnya tidak ada dalil atau petunjuk yang mempersyaratkannya.

  
b.      Maqis (sesuatu yang akan disamakan hukumnya dengan ashal)
Untuk maqis ini kebanyakan ulama menggunakan kata “furu’” (sesuatu yang dibangun atau dihubungkan kepada sesuatu yang lain). Ada yang mengatakan bahwa maqis adalah wadah yang hukumnya diserupakan dengan yang lain. Ada pula yang menyebutnya hukum dari wadah yang disamakan. Tidak ada pendapat yang mengatakan bahwa furu’ itu adalah “dalil hukum yang disamakan”, karena yang menjadi dalil tentang adanya hukum pada furu’ adalah qiyas itu sendiri.
Untuk maqis ini terdapat beberapa syarat. Sebagian dari syarat itu disepakati para ulama dan sebagian lagi hanya dikemukakan oleh ulama tertentu. Syarat-syarat maqis itu adalah sebagai berikut :
a.       ‘Illat yang terdapat pada furu’ memiliki kesamaan dengan ‘illat yang terdapat pada ashal. Maksudnya seluruh ‘illat yang terdapat pada ashal juga terdapat pada furu’. Jumlah ‘illat pada furu’ itu bisa sebanyak yang terdapat pada ashal atau melebihi yang terdapat pada ashal.
b.      Harus ada kesamaan antara furu’ itu dengan ashal dalam hal ‘illat, maupun hukum; baik yang menyangkut ‘ain ‘illat atau jenis ‘illat dan sama dalam ‘ain hukum atau jenis hukum. Bila diantara hal itu terdapat perbedaan, maka rusaklah qiyas; karena tidak terdapat ‘illat dalam furu’ (dalam hal berbedanya ‘illat) atau tidak adanya hokum ashal pada furu’ (dalam hal berbedanya hukum.
c.       Ketetapan hukum pada furu’ itu tidak menyalahi dalil qath’i. Maksudnya, tidak terdapat dalil yang isinya berlawanan dengan furu’. Hal ini dapat disepakati oleh ulama. Alasannya adalah bahwa qiyas tidak dapat digunakan pada sesuatu selama masih ada dalil qath’i yang berlawaann dengannya.
d.      Tidak terdapat “penentang” (hukum lain) yang lebih kuat terhadap hokum pada furu’ dan hokum dalam penentang itu berlawanan dengan ‘illat qiyas itu. Penentangnya itu bisa dalam bentuk naqid (contradictory) atau dalam bentuk dhid (contrary).
e.       Furu’ itu tidak pernah diatur hukumnya dalam nash tertentu; baik materi nash itu bersesuaian dengan hukum yang akan ditetapkan pada furu’, atau berlawanan dengannya.
f.       Furu’ (sebagai maqis) itu tidak mendahului ashal (sebagai maqis ‘alaih) dalam keberadaanya. Umpamanya mengqiyaskan “wudhu” kepada “tayammum” dalam menetapkan kewajiban “niat”. Wudhu itu itu lebih dahulu adanya daripada tayammum. Wudhu disyariatkan sebelum hijrah, sedangkan tayammum disyariatkan sesudah hijrah. Lagipula ditetapkannya tayammum itu adalah sebagai pengganti wudhu di saat tidak dapat melakukan wudhu.


Perbedaan Hukum Ashal dan Furu’

a. Makna ashal dan furu’
            .Islam adalah Aqidah, Syariat dan Akhlaq. Ketiganya menjadi satu kesatuan tak terpisahkan, satu sama lainnya saling terkait dan saling menyempurnakan. Ketiganya terhimpun dalam Ajaran Islam melalui dua ruang ilmu, yaitu : Ushuluddin dan Furu’uddin

.           Ushuluddin biasa disingkat ushul/ashal, yaitu ajaran Islam yang sangat prinsip dan mendasar, sehingga umat Islam wajib sepakat dalam ashal dan tidak boleh berbeda, karena perbedaan dalam ashal adalah penyimpangan yang mengantarkan kepada kesesatan.

Sedang Furu’uddin biasa disingkat furu’, yaitu Ajaran Islam yang sangat penting namun tidak prinsip dan tidak mendasar , sehingga umat Islam boleh berbeda dalam furu’, karena perbedaan dalam furu’ bukan penyimpangan dan tidak mengantarkan kepada kesesatan, tapi dengan satu syarat yakni : ada dalil yang bisa dipertanggung-jawabkan secara Syar’i.

Penyimpangan dalam Ushul tidak boleh ditoleran, tapi wajib diluruskan. Sedang Perbedaan dalam Furu’ wajib ditoleran dengan jiwa besar dan dada lapang serta sikap saling menghargai.

b. Menentukan Ashal dan Furu’
            Cara menentukan suatu masalah masuk dalam ashal atau furu’ adalah dengan melihat kekuatan dalil dari segi wurud  (Sanad Penyampaian) dan  dilalah (fokus penafsiran).

            Wurud terbagi dua yaitu :
1. Qoth’i yaitu dalil yang sanad penyampaiannya mutawatir,
2. Zhonni yaitu dalil yang sanad penyampaiannya tidak mutawatir.

Mutawatir  ialah sanad penyampaian yang perawinya berjumlah banyak di tiap tingkatan, sehingga mustahil mereka berdusta.

Dilalah juga terbagi dua yaitu :
1. Qoth’I yaitu dalil yang hanya mengandung satu penafsiran
2. Zhonni yaitu dalil yang mengandung multi penafsiran

Karenanya, Al-Qur’an dari segi wurud semua ayatnya qoth’i, karena sampai kepada kita dengan jalan mutawatir. Sedang dari segi dilalah maka ada ayat yang qoth’i karena hanya satu penafsiran, dan ada pula ayat yang zhonni karena multi penafsiran.

Sementara As-Sunnah, dari segi wurud, yang mutawatir semuanya qoth’i, sedang yang tidak mutawatir semuanya zhonni. Ada pun dari segi dilalah, maka ada yang qoth’i karena satu pemahaman dan ada pula yang zhonni karena multi pemahaman.

Selanjutnya, untuk menentukan klasifikasi suatu persoalan, apa masuk ashal atau furu’, maka ketentuannya adalah :

-          Suatu masalah jika dalilnya dari segi wurud dan dilalah sama-sama qoth’i, maka ia pasti masalah ashal.
-          Suatu masalah jika dalilnya dari segi wurud dan dilalah sama-sama zhonni, maka ia pasti masalah furu’.
-          Suatu masalah jika dalilnya dari segi wurud qoth’i tapi dilalahnya zhonni, maka ia pasti masalah furu’.
-          Suatu masalah jika dalilnya dari segi wurud zhonni tapi dilalahnya qoth’i, maka ulama berbeda pendapat, sebagian mengkatagorikannya sebagai ashal, sebagian lainnya mengkatagorikannya sebagai furu’.

Dengan demikian, hanya pada klasifikasi pertama yang tidak boleh berbeda, sedang klasifikasi kedua, ketiga dan keempat, maka perbedaan tidak terhindarkan.


c. Contoh ashal dan furu’

1. Dalam Aqidah

Kebenaran peristiwa Isra Mi’raj Rasulullah SAW adalah masalah ashal, karena dalilnya qoth’i, baik dari segi wurud mau pun dilalah. Namun masalah apakah Rasulullah SAW mengalami Isra’ Mi’raj dengan ruh dan jasad atau dengan ruh saja, maka masuk masalah furu’, karena dalilnya zhonni, baik dari segi wurud mau pun dilalah.

Karenanya, barangsiapa menolak kebenaran peristiwa Isra’ Mi’raj Rasulullah SAW maka ia telah sesat, karena menyimpang dari ashal aqidah. Namun barangsiapa yang mengatakan Rasulullah SAW mengalami Isra’ Mi’raj dengan ruh dan jasad atau ruh saja, maka selama memiliki dalil syar’i ia tidak sesat, karena masalah furu’ aqidah.

2. Dalam Syariat

Kewajiban shalat lima waktu adalah masalah ashal, karena dalilnya qoth’i, baik dari segi wurud mau pun dilalah. Namun masalah apakah boleh dijama’ tanpa udzur, maka masuk masalah furu’, karena dalilnya zhonni, baik dari segi wurud mau pun dilalah.

Kewajiban shalat lima waktu adalah masalah ashal, karena dalilnya qoth’i, baik dari segi wurud mau pun dilalah. Namun masalah apakah boleh dijama’ tanpa udzur, maka masuk masalah furu’, karena dalilnya zhonni, baik dari segi wurud mau pun dilalah.

3. Dalam Akhlaq

            Berjabat tangan sesama muslim adalah sikap terpuji adalah masalah ashal, karena dalilnya qorh’i, baik dari segi wurud mau pun dilalah. Namun masalah bolehkah jabat tangan setelah shalat berjama’ah, maka masuk masalah furu’, karena Dalilnya zhonni, baik dari segi wurud mau pun dilalah.
           
            Karenanya, barangsiapa menolak kesunnahan jabat tangan antar sesama muslim, maka ia telah sesat, karena menyimpang dari ashal akhlaq. Namun barangsiapa yang berpendapat tidak boleh berjabat tangan setelah shalat berjama’ah atau sebaliknya, maka selama memiliki dalil syar’i ia tidak sesat, karena masalah furu’ akhlaq.

.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah ADAB BERTETANGGA

DIMENSI ALIRAN PEMIKIRAN ISLAM

“Sejarah Perkembangan Psikologi dan Aliran-alirannya