Perputaran Harga

Latar Belakang
Menurut Qardhawi1 sitem ekonomi Islam tidak berbeda dengan sistem ekonomi lainnya, dari segi bentuk, cabang, rincian, dan cara pengaplikasian yang beraneka ragam, tapi menyangkut gambaran global yang mencakup pokok-pokok petunjuk, kaidah-kaidah pasti, arahan-arahan prinsip yang juga mencakup sebagian cabang penting yang bersifat spesifik ada perbedaannya. Hal itu karena sistem Islam selalu menetapkan secara global dalam masalah-masalah yang mengalami perubahan karena perubahan lingkungan dan zaman. Sebaliknya menguraikan secara rinci pada masalah-masalah yang tidak mengalami perubahan.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa Islam merupakan sistem kehidupan yang bersifat kompreshensif, yang mengatur semua aspek, baik dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik maupun yang bersifat spiritual.
Dalam menjalankan kehidupan ekonomi, tentu Allah telah menetapkan aturan-aturan yang merupakan batas-batas prilaku manusia sehingga menguntungkan suatu individu tanpa merugikan individu yang lain. Perilaku inilah yang harus diawasi dengan ditetapkannya aturan-aturan yang berlandaskan aturan Islam, untuk mengarahkan individu sehingga mereka secara baik melaksanakan aturan-aturan dan mengontrol dan mengawasi berjalannya aturan-aturan itu.

Rumusan Masalah
Apa perbedaan ekonomi Islam dan ekonomi konvensional dilihat dari aspek perputaran harganya ?



Pembahasan

Perputaran Harga Versi Ekonomi Konvensional

Ekonomi konvensional adalah bentuk sistem ekonomi yang mengandalkan mesin pasar secara liberal, sehingga menjustifikasi pengharaman negara dalam mengintervensi perputaran ekonomi pasar. Maka pasar ini dibiarkan begitu saja berputar secara alamiah, tanpa ada batasan sekat-sekat hukum, karena yang bermain di dalamnya hukum supply and dimand. Menurut paham ini tangan gaib (invisible hand) yang mengatur harga dalam pasar. Untuk mengetahui secara mendalam kita akan mengulas tentang perkembangan pemikiran sistem ekonomi ini.

            Sebagai founding fathers ekonomi klasik ini Adam Smith, John Malthus dan David Ricardo. Sedangkan Adam Smith memproklamirkan diri teori-teori ekonomi ini dengan madzhab individualisme  "Laissez Faire, Laissez  Passez, Et Le Monde va De Luime me”, berarti: (Biarkan ia bekerja dan tinggalkanlah, dunia ini akan berjalan dengan sendirinya). Dalam kaitan pembangunan ekonomi, maka teori ini berbunyi: “Biarkan masyarakat mengelola ekonominya dengan sendiri, sedangkan negara tidak boleh mengintervensinya”[1].

            Paham inilah yang memunculkan ghirah individualisme, yang sangat mempengaruhi pemikiran pembangunan ekonomi di negara-negara barat dan USA, dan juga terhadap pola hidup masyarakat Indonesia di perkotaan yang life style berkiblat kepada barat yang sangat bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.  Adam Smith menolak pemikiran ekonomi intervensi negara terhadap perputaran ekonomi dalam masyarakat, yaitu dengan memberikan peluang perputaran ekonomi kepada masyarakat secara liberal sebagai mekanisme pasar, sehingga masyarakat mampu berkonsumsi dan berproduksi yang ditentukan oleh harga pasar dengan hukum penawaran dan permintaan (supply and dimand).

            Dalam hal ini, Adam Smith berkeyakinan bahwa dengan tidak adanya intervensi negara dalam pengaturan pasar akan dapat menjamin keseimbangan ekonomi dalam masyarakat. Dan harga yang ditentukan oleh mekanisme pasar dalam pandangan Smith akan dapat mempengaruhi produksi, income/pendapatan, deposito, distribusi dan konsumsi. Dengan demikian, maka harga yang telah ditentukan oleh mekanisme pasar akan dapat mengelola perencanaan produksi, tabungan deposito, dan distribusi secara natural, sehingga akan dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara alami. Dengan berkeyakinan bahwa factor-faktor tangan gaib (invisible hand) akan berdampak pada natural order dan natural price dalam ekonomi[2].

            Dalam kenyataannya, teori individualisme ini berdampak pada kerusakan social yang menyebabkan kesenjangan social antara masyarakat kaya dan masyarakat miskin, karena teori ini berdampak dalam tatanan social yang kaya makin kaya dan yang miskin makin terhimpit dan terjepit, karena berdasar teori “Yang kaya memakan yang miskin”. Dengan demikian, teori Adam Smith ini jelas ditolak mentah-mentah karena meninggalkan great depression ekonomi dunia pada tahun 1929 khususnya bagi negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.

            Para tokoh ekonomi ini antara lain –Khusunya Malthus, David Ricardo dan John S. Mill- menambahkan tentang dua faktor yang dapat menghambat pembangunan ekonomi: Tingginya pertambahan angka penduduk dan kelangkaan sumber daya alam (SDA). Sehingga kedua faktor inilah yang bila berkembang subur dalam masyarakat akan berdampak pada keterbelakangan ekonomi masyarakat, dan masyarakat tidak bertambah maju, bahkan akan terperosok ke dalam resesi ekonomi (stationary). Sekira mayoritas masyarakat hidup dalam level kemiskinan yang disebut dengan Minimum Subistence Level. Maka secara otomatis untuk mendongkrak masyarakat dalam level ini, akan menggunakan pola pemikiran pembangunan ekonomi yang kita sebut dengan Gradualistic Model of Growth & Stagnation[3].

            Perbedaan mendasar antara teori-teori pembangunan ekonomi Ricardo, Malthus dan Smith terletak pada analisa pembangunan tentang konsep peran penduduk sebagai unsur ekonomi. Menurut Smith angka pertambahan penduduk merupakan bagian dari faktor-faktor produksi yang akan melahirkan perluasan pasar dan pertumbuhan ekonomi. Dengan semakin luasnya pasar, maka akan membuka inovasi-inovasi baru sebagai dampak dari insentif perluasan distribusi pekerjaan yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi[4].

            Masih dalam frame teori-teori ekonomi Smith, John S. Mill berpendapat bahwa dengan sistem spesilisasi dan distribusi kerja (division of labor) profesionalisme para pekerja dan produktifitasnya akan meningkat, yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Sedangkan David Ricardo dan Malthus berpendapat bahwa dengan semakin bertambahnya penduduk maka dalam jangka panjang ekonomi akan terjerembab ke dalam resesi ekonomi, dikarenakan pertumbuhan penduduk melampui pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, maka sesuai dengan pendapatnya pembangunan ekonomi akan kembali ke level minimal (kemiskinan), dan Ricardo menambahkan bahwa tingginya produktifitas yang disebabkan oleh penggunaan tehnologi maju berdampak pada resesi ekonomi, akan tetapi tidak murni disebabkan oleh alih tehnologi maju[5].


Perputaran Harga Versi Ekonomi Islam
           
            Islam menolak sejumlah ideologi yang terkait dengan keagungan private property, kepentingan investor, asceticism (menghindari kehidupan duniawi) maupun authoritarianisme (ekonomi terpimpin atau paham mematuhi seseorang atau badan secara mutlak).[6]

            Oleh sebab itu, sangat utama bagi umat Islam untuk secara kumulatif mencurahkan semua dukungannya kepada ide keberdayaan, kemajuan, dan kecerahan peradaban bisnis dan perdagangan. Islam secara ketat memacu umatnya untuk bergiat dalam aktivitas keuangan dan usaha-usaha yang meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial.

            Allah Swt tidak hanya menjamin akses yang memudahkan kaum Quraisy untuk dapat berperan dipasar, bahkan Al-Qur’an pun menjabarkan koreksi kepada Bangsa Arab yang selama ini salah kaprah dengan meyakini bahwa orang akan kehilangan kemuliaan dan kekarismaannya bila melakukan kegiatan ekonomi dipasar. Ketika itu bangsa Arab meyakini, tidak sepantasnya seorang Nabi mempunyai aktivitas dipasar, padahal Allah Swt berfirman dalam Surat Al-Furqan ayat 20,




]“Dan kami tidak mengutus Rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan Kami jadikansebagian kamu cobaan sebagian yang lain maukah kamu bersabar ? Dan adalah Tuhanmu Maha Melihat.”

            Dalam firman-Nya yang lain di Surat Al-furqan ayat 7,




“Dan mereka berkata, ’Mengapa Rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat itu memberikanperingatan bersama-sama dengan dia ?”

            Selain itu Al-Qur’an mengoreksi kesalahan persepsi Bangsa Arab akan larangan melakukan kegiatan ekonomi dn perdagangan pada masa-masa musim haji, dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 198,




“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar ternauk orang-orang yang sesat.”

            Konsep Islam menyatakan bahwa pasar harus berdiri diatas prinsip persaingan bebas (perfect competion). Namun demikian bukan berarti kebebasan tersebut berlaku mutlak, akan tetapi kebebasan yang terbungkus oleh frame aturan syariah. Untuk itu pembahasan mengenai struktur pasar dalam konsep Islam akan dimulai dengan pemahaman akan persaingan bebas berikut komponen-komponen yang mengikat pengertiannya tersebut.

Harga pada pasar Islami
           
            Konsep Islam memahami bahwa pasar dapat berperan efektif dalam kehidupan ekonomi bila prinsip persaingan bebas dapat berlaku secara efektif. Pasar tidak mengharapkan adanya intervensi dari pihak manapun, tak terkecuali dengan Negara dengan otoritas penentuan harga atau private sector dengan kegiatan monopolistik ataupun lainnya.[7]

            Karena pada umumya pasar tidak membutuhkan kekuasaan yang besar untuk menentukan apa yang harus di konsumsi dan di produksi. Sebaliknya biarkan tiap individu dibebaskan untuk memilih sendiri apa yang dibutuhkan dan bagaimana memenuhinya. Inilah pola normal dari pasar atau keteraturan alami dalam istilah Al-Ghazali berkait dengan ilustrasi dari evolusi pasar. Adam Smith menyatakan serahkan saja pada invisible band, dan duniaakan teratur dengan sendirinya. Dasar dari keputusan para pelaku ekonomi adalah volunter, sehingga otoritas dan komando tidak lagi terlalu diperlukan. Biaya untuk mempertahankan otoritas pun diminimalkan.

            Dari pemahaman itu, harga sebuah komoditas (barang dan jasa) ditentukan oleh penawaran dan permintaan, perubahan yang terjadi pada harga berlaku juga ditentukan oleh terjadinya perubahan permintaan dan perubahan penawaran. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Anas Ra bahwasannya suatu hari terjadi kenaikan harga yang luar biasa dimasa Rasulullah Saw, maka sahabat meminta Nabi untuk menentukan harga pada saat itu, lalu beliau bersabda yang artinya,

Bahwasannya Allah adalah Zat yang mencabut dan memberi sesuatu, Zat yang memberi rezeki dan penentu harga….” (HR. Abu Dawud)

            Dengan demikian pemerintah tidak memiliki wewenang untuk melakukan intervensi terhadap harga pasar dalam kondisi normal. Ibnu taimiyah menyatakan jika masyarakat melakukan transaksi jual beli dalam kondisi normal tanpa ada bentuk distorsi tanpa penganiayaan apapun dan terjadi perubahan harga karena sedikitnya penawaran atau banyaknya permintaan, maka ini merupakan kehendak Allah. (Atiyah as-Sayyid Fayyadh, 1997)

            Harus diyakini nilai konsep Islam tidak memberikan ruang untuk intervensi dari pihak manapun untuk menentukan harga, kecuali adanya kondisi darurat yang kemudian menuntut pihak-pihak tertentu untuk ambil bagian menentukan harga.

            Lebih jauh lagi, Ibnu Taimiyah membatasi keabsahan pemerintah dalam menetapkan kebijakan intervensi pada empat situasi dan kondisi berikut :

            Pertama, kebutuhan masyarakat atau hajat hidup orang banyak akan sebuah komoditas (barang dan jasa); para fuqaha sepakat bahwa sesuatu yang menjadi hajat hidup orang banyak tidak dapat diperjualbelikan kecuali dengan harga yang sesuai.

            Kedua, terjadi kasus monopoli (penimbunan); para fuqaha bersepakat untuk melakukan hak Hajar (ketetapan yang membatasi hak guna dan hak pakai atas kepemilikan barang) oleh pemerintah. Hal ini menggantisipasi adanya tindakan negatif (berbahaya) yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang melakukan kegiatan monopolistik ataupun penimbunan barang.

            Ketiga, terjadi keadaan hasr (pemboikotan), dimana distribusi barang hanya terkonsentrasi pada satu penjual atau pihak tertentu. Penerapan harga disini untuk menghindari penjualan barang tersebut dengan harga yang ditetapkan sepihak dan semena-mena oleh pihak penjual tersebut.

            Keempat, terjadi koalisi dan kolusi antar penjual, dimana sejumlah pedagang sepakat untuk melakukan transaksi diantara mereka sendiri dengan harga penjualan yang tentunya dibawah harga pasar. Ketetapan intervensi di sini untuk menghindari kemungkinan terjadi fluktuasi harga barang yang ekstrem dan dramatis.

            Konsep diatas menentukan bahwa pasar Islami harus bisa menjamin adnya kebebasan pada masuk atau keluarnya sebuah komoditas di pasar, berikut perangkat faktor-faktor produksinya. Hal ini untuk dimaksudkan untuk menjamin adanya pendistribusian kekuatan ekonomi di dalam sebuah mekanisme yang proposional. Otoritas pasar tidak bisa membatasi elemen pasar dan peran industri tertentu atau sejumlah industri tertentu, karena hal ini hanya akan membawa kepada adanya perilaku monopolistik. Pada kondisi monopolistik produksivitas sebuah industri dapat dibatasi untuk kepentingan kenaikan harga ataupun lainnya.[8]

            Aktivitas ekonomi dalam konsep ini diarahkan kepada kebaikan setiap kepentingan untuk seluruh komunitas Islam; baik sektor pertanian, perindustrian, perdagangan maupun lainnya. Sebagaimana disinyalir dalam firman Allah Swt dalam Surat at-Taubah ayat 105,



“Dan katakanlah, ’Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang kamu kerjakan.”

Dalam firman-Nya yang lain,


“Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk: 15)


Kesimpulan

          Ekonomi konvensional memiliki plus dan minus, akan tetapi minusnya lebih banyak dari pada plusnya, maka lebih baik ditinggalkan dan ditiadakan dalam perputaran ekonomi nasional. Oleh karena itu, ekonomi yang tepat sebagai pengganti ekonomi konvensional adalah ekonomi yang bervisi pro-rakyat (ekonomi kerakyatan) yaitu ekonomi keadilan sosial.[9]

            Ekonomi kerakyatan adalah ekonomi yang berpihak kepada rakyat, tentunya sistem ekonomi tidak lain adalah desain dari ekonomi syariah atau ekonomi Islam. Oleh karenanya ekonomi kerakyatan adalah desain dari ekonomi Islam yang berbaju ekonomi berkeadilan sosal.


PENUTUP

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena dengan rahmat dan karuniaNya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan banyak kekurangan, oleh karena itu kami mengharapkan beribu-ribu kritik dan saran yang bersifat membangun.

Wallahul muwaffiq ilaa aqwamith thariiq.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh


Daftar Pustaka


Hidayat. MBA, Mohamad., an Introduction to The Sharia Economic, Jakarta, Zikrul Hakim, 2010.

Kartasasmita, Prof. Dr. Ginanjar., Administrasi Pembangunan: Perkembangan Pemikiran dan Praktiknya di IndonesiaJakarta, LP3ES, 2005.

Rachbini, Prof. Dr. Didik J., Ekonomi Politik; Kebijakan dan Strategi Pembangunan, Jakarta, Granit, 2004.




[1].  Riadi & Deddy S B K, "Perencanaan Pemabangunan Daerah, Pt. Gramedia, Jakarta, 2005, hal. 51.
[2]. Lathif Hakim, M.Ec.,“Strategi Pembangunan Ekonomi Nasional Dalam Perspektif Islam”, bagian thesis, hal. 60.
[3]. Prof. Dr.  Abdul Hamid El-Ghazali, “Planning For Economic Development”, hal. 31.
[4]. Prof. Dr. Ginanjar Kartasasmita, "Administrasi Pembangunan: Perkembangan Pemikiran dan Praktiknya di Indonesia",  LP3ES,  Jakarta, hal. 10.                                      
[5]. Prof. Dr. Mustafa Dijaja, "Format Bernegara Menuju Masyarakat Madani”,  LAN.,  Jakarta, hal. 33.
[6] Mohamad Hidayat, an Introduction to The Sharia Economic, hlm. 300
[7] Mohamad Hidayat, an Introduction to The Sharia Economic, hlm. 303
[8] Mohamad Hidayat, an Introduction to The Sharia Economi, hlm. 305
[9] Prof. Dr. Didik J. Rachbini., Ekonomi Politik; Kebijakan dan Strategi Pembangunan, hlm. 58

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah ADAB BERTETANGGA

DIMENSI ALIRAN PEMIKIRAN ISLAM

“Sejarah Perkembangan Psikologi dan Aliran-alirannya