“Ibnu ‘Arabi”

PENDAHULUAN


Doktrin Ibn ‘Arabi tentang Wahdatul Wujud telah mewarnai keragaman pemikiran tentang sufistis. Dan juga merupakan tokoh tasawuf yang fenomenal dalam peradaban Islam. Pemikirannya juga spiritualis yang berkelahiran Spanyol kali ini menghentak-hentak kesadaran dan kemapanan. Terlebih tema-tema yang diusung menyangkut hakikat dan makna hidup yang tak pernah berhenti. Karena terpinggirkannya pemikiran dan ajaran Ibn ‘Arabi adalah terbatasnya para pengikutnya dan literatur yang tersebar dan karakteristik dengan bahasa agama yang berbenturan dengan bahasa budaya perpaduan dan tradisi tasawuf dengan mengekspresikan pengalaman, penghayatan komitmen dan konsep keragaman dimensi metafisis transendental.
PEMBAHASAN

A. Biografi Ibn ‘Arabi
Nama lengkap Ibnu ‘Arabi yaitu Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn al-Arabi al-Hatimi ath-Tha’i al-Andalusi, yang dilahirkan di Murcle, Andalusia, Spanyol. Pada abad 27 Ramadhan 560 atau 7 Agustus 1165 di lingkungan keluarga yang berketurunan Arab. Dirinya dijuluki ”Syaikh al-Akbar” (Sang Mahaguru) dan ”Muhyiddin” (”Sang Penghidup Agama”). Dan kegiatan duniawi beliau yang amat banyak jumlahnya dan berakhir pada 28 Rabi’utsani 638 atau 16 November 1246. Dan dia dalam suatu perjalanannya panjang telah membawanya dari Sevilla, tempat keluarganya bermukim pada 568/1173 sampai di Damas, tempat peristirahatan terakhir beliau sampai sekarang masih dikunjungi orang-orang peziarah. Pada tahun 578 Ibn al-Arabi mulai belajar agama dengan usia yang masih muda. Beliau mempelajari al-Qur’an di bawah bimbingan Ibn Safi al-Lakhimi (meninggal 589/1189) yang mengajarkan haditsnya.
Selama menetap di Seville, Ibn al-Arabi dengan memanfaatkan perjalanannya untuk mengunjungi para sufi dan sarjana terkemuka. Salah satu kunjungannya yang sangat mengesankan ialah ketika berjumpa dengan Ibn Rusyd (w. 595 / 1198) di Cordova. Percakapannya dengan filsuf besar ini membuktikan kecermelangannya yang luar biasa dalam wawasan spiritual dan intelektual. Di antara guru-guru spiritual Ibn al-Arabi terdapat dua wanita lanjut usia : Yasamin (sering pula disebut dengan Syams) dari Marchena dan Fatimah dari Cordova. Ia sangat mengagumi kedua wanita itu dan mengakui jasa mereka dalam memperkaya kehidupan spiritualnya. Pada perjalanannya tahun 590/1193 dia mengadakan perjalanan itu pertama kali Ibn al-‘Arabi ke semenanjung Iberia. Di sana dia belajar Khal al-Na’ Laya (melepas dua sandal) oleh Ibn Qasi, pemimpin sufi yang melakukan pemberontakan terhadap dinasti al-Munabbitin di Algerve. Ia kemudian menulis karya dengan berbagai komentar. Dan yang sama ia juga mengunjungi ‘Abd al-Aziz al-Mahdawi, dengan dikirimnya ruh al-Quds, al-Kinani, guru al-Mahdawi, dengan ajaran al-Kumi dan al-Mawruri.

B. Karya-karya Ibn al-‘Arabi
Pertama-pertama karya Ibn al-Arabi, sebenarnya sebuah risalah doktrin yang bersifat metafisis dan ma’rifat (tanpa suatu pengenalan awal lebih dahulu) yang mengambil al-Qur’an dan sunnah sebagai sumbernya. Karena penguasaannya yang dapat dikatakan sebagai penafsiran yang berwenang menjelaskan doktrin-doktrin esoteric (tasawuf) Islam. Yang terlihat dengan “Misykat al-Anwar” yang terjemahannya sempurna. Dan ada karya-karya yang lain, yang sangat penting adalah “futuhat” dan “fushush al-hikam”. Dari keduanya, hanya fushush al-hikam yang diterjemahkan oleh Titus Burckharat, bagi orang-orang berbahasa Arab, teks-teks yang segera bisa didapatkan adalah kedua karyanya “Klineire Scriften des Ibn al-Arabi” (Leyden, 1849) yang di cetak dalam Rasa’il Ibn al-Arabi (Hyderabad, 1947). Belakangan ini “Tarjamun al-Asywaq” yang diterbitkan di Beirut (1961) dan Diwan juga telah diterbitkan kembali.
Dan ada salah satu karyanya yang hilang tidak satupun ditemukan ringkasan (ikhtisharaf), “Bukhari, Muslim, Tirmidzi”. Sedangkan karya kitab “Miftah as-Sa’adah” itu juga hilang dan kitab yang berjudul “al-Misbah fi Jam bayna Shihab”. Dalam karangan Misykatul yaitu kitab “al-Arba’ inath-Thiwalat” pada tahun 599/1202 dan beberapa hadits yang masih ada seperti, “Misykat al-Ma’qul al-Muqtabasah Min-nural Manqul” yang terdiri dari 9 bab. Dan di dalam karya ini ada keistimewaannya tersendiri, yaitu beliau hanya menekuni hadits-hadits “quds”, yaitu hadits-hadits di mana Rasul (semoga turun atas berkatnya dan kedamaian abadi), menyikapi kalimat-kalimat disebutkan berasal dari Allah sendiri.

C. Pemikiran  Ibn ‘Arabi
Wahdat al-Wujud (وحدة الوجود) berarti : kesatuan wujud.
Konsep dasar pertama dari filsafat Ibn ‘Arabi adalah pengakuan bahwa hanya ada dzat tunggal saja, dan tidak ada yang mewujud selain itu. Istilah Arab untuk mewujud-wujud, yang dapat disamakan dengan kepribadian (eksisten). Perbedaan, yang banyak dilakukan di masa kini, antara mewujud dan mengada (being and existence) tidak dilakukan oleh Ibn Arabi. Maka ketika dia mengatakan bahwa hanya ada zat tunggal, menurutnya yaitu :
a. Bahwa semua yang ada adalah zat tunggal
b. Bahwa zat tunggal tidak terpecah ke dalam bagiannya
c. Bahwa tidaklah ada berlebih di sini atau juga tidak kekurangan di sana. Oleh sebab itu, dalam setiap kepribadian tidaklah ada sesuatu kecuali zat tunggal, yang secara mutlak tak terpecahkan / terbagikan (indivisible) dan seragam (homogen).
Zat, oleh sebab itu, menentukan diri sendiri, dan dari hasil dari penentuan diri (ta’ayun) maka pembedaan dan perbedaan akan muncul dalam zat, dan penggandaan akan berkembang dari kesatuan. Tetapi dalam proses ini, zat tidaklah membagi atau juga tidak menjarangkan diri sendiri. Samalah juga dengan zat tunggal yang mengada dalam keseluruhannya, di sini dengan satu bentuk dan di lain tempat dengan bentuk yang lain, tanpa membagi atau menjarangkan diri secara memadai. Sebagai seorang aktor, ia tampak dalam berbagai karakter, dengan nama-nama yang berbeda karakter dengan nama-nama yang berbeda, dan melakukan berbagai fungsi. Ibnu al-Arabi menyamakan penampakan dari sesuatu berbagai air, yang kini berwujud air, atau sebagai es, atau pula sebagai uap. Dan zat juga yang menentukan diri sendiri dalam berbagai bentuk adalah zat Tuhan. Dan tentu tidak bisa lain kecuali Tuhan; baginya tidak akan ada dua zat yang mengada bersama-Nya. Kemudian juga, bahwa zat Tuhan adalah zat dunia; perbedaan di antara keduanya adalah di atur dengan nalar yang sama. Karena Tuhan dan dunia adalah satu zat, maka hubungan antara Tuhan dan dunia tidaklah merupakan hubungan antara sebab dan akibat, atau hubungan antara pencipta dan ciptaan sebagai yang diyakini ahli ilmu kalam, atau hubungan antara yang tunggal dengan yang emanasi (pancaran-Nya).
Nama-nama (asma-asma) Tuhan ada tiga jenis, yakni satu jenis nama yang negatif (sulub) seperti tak terbatas, atau memiliki makna negatif seperti abadi dan tak berpenghabisan; yang pertama berarti yang tidak memiliki awal dan yang terakhir berarti tidak memiliki akhir. Nama-nama yang kedua berjenis hubungan (nisbi) / idhafi, seperti yang pertama (al-awwal) dan terakhir (al-akhir), Maha Pencipta (al-khaliq) dan Tuhan (ar-rabb). Nama jenis ketiga yang muncul sebagai turunan dari suatu sifat-sifat tertentu (shifat) Tuhan, seperti Maha Mengetahui (al-alim), Maha Kuasa (al-qadir), Maha Melihat (al-bashir) dan lain-lain.
Dan juga falsafat ini timbul dari faham bahwa Allah ingin melihat dirinya di luar dirinya dan oleh karena itu dijadikannya alam ini. Maka alam ini merupakan cermin bagi Allah. Di kala Ia ingin melihat diri-Nya, ia melihat kepada alam. Pada benda-benda yang ada dalam alam, karena dalam tiap-tiap benda itu terdapat sifat ketuhanan. Yang ada dalam alam itu kelihatan banyak, tetapi sebenarnya itu satu. Tak ubahnya hal ini sebagai orang yang melihat dalam beberapa cermin yang diletakkan di sekelilingnya.
.            Sebagai kata Parmenides :
“Yang ada itu satu, yang banyak itu tak ada
Yang kelihatan banyak dengan panca indera adalah ilusi”.
Dengan kata lain, makhluk atau yang dijadikan, wujudnya tergantung pada wujud Tuhan yang bersifat wajib. Tegasnya yang sebenarnya mempunyai wujud hanyalah satu, yaitu Tuhan. Wujud selain dari Tuhan adalah wujud bayangan.
Di samping banyak yang menyakralkan as-Syaikh al-Kabir (Ibnu Arabi) sebagai wali Allah yang terpilih dan pemegang keramat, di saat kehidupan Ibnu ‘Arabi dan setelah wafatnya dan mereka yang menganugerahkan gelar mulia Muhyi al-Din (penghidup agama), maka disisi lain ada juga pihak-pihak yang kontra dan menentangnya. Mereka memvonis sang pembuat khurafat yang menjelajah alam imajinasi ini sebagai pendusta dan orang yang meyesatkan bahkan termasuk orang kafir karena ajaran dan statemennya. Para  penulis biografinya menuturkan bahwa vonis atasnya berkisar antara beberapa tingkatan yang berbeda-beda, yaitu kafir, zindiq, dan wali quthub yang di dekatkan kepada Allah,
            Atmosfir masa-masa berikutnya, dengan mengecualikan para sufi yang memusuhinya yang sampai sekarang menyebutnya sebagai Mumit al-Din (pembunuh agama), sebagai ganti dari Muhyi al-Din. Apa yang dituduhkan kepadanya bukan esensi ajaran dan kandungan ajaran itu sendiri, tetapi semua itu adalah sikap lancang yang dengannya ia berani untuk membolehkan pengetahuan tentang rahasia-rahasia ketuhanan yang dikhususkan bagi orang-orang bijaksana ketimbag menyiarkannya baik secara lisan maupu tulisan kepada manusia. Hal itu merupakan pengamalan dari prinsip “menyebarkan rahasia ketuhanan merupakan kekafiran”. Ini adalah sebuah kaidah yang juga dikeluarkan dalam penetapan vonis terhadap al-Hallaj (yang mengakui akan ketuhanan orang yang arif).[1]
            Ibnu ‘Arabi berijtihad dengan sungguh, sebagaimana yang dinisbatkan kepadanya tanpa mereka-reka dalam hal itu dan tanpa keraguan, yaitu akidah kesatuan wujud (wahdatul wujud) atau wujud mutlak yang bisa dinisbatkan kepada salaf popular. Dia mengupas akidah ini yang mengasumsikan penyatuan substansi materiil Tuhan antara Tuhan dan kosmos, dan kemudian membatasinya sebagai relasi etis maknawi.





PENUTUP

 Kesimpulan
Pemikiran Ibn al-Arabi, yang bergelar al-kabri al-ahmar ini sangat mendengar tentang kesatuan wujud al-Haq, berawal dari hasil renungannya yang mendasar yaitu jika wujud adalah maka dimanakah posisinya seperti dalam dialektikanya yang dari konteksnya dijelaskan dan muncul pertanyaan. Apakah yang dimaksud dengan mencintai Tuhan? Dan bagaimana kita mencintai Tuhan? Biasanya bahasa religius menggunakan berbagai rumusan tertentu. Bahwa Ibn al-Arabi membawa kita maju ke depan dengan sarana dua observasi yang disebut “cinta Ilahi”. Yang mempunyai dua aspek salah satunya hasrat akan Tuhan kepada makhluknya, dan bahwa alam merupakan cermin bagi Tuhan dan benda-benda yang ada dalam alam karena esensinya ialah sifat ketuhanannya Tuhan melihat diri-Nya. Dari sinilah timbul faham kesatuan wujud, dan pada hakikatnya yaitu satu.

Wallahul muwaffiq ilaa aqwamith thariiq.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuhu.


DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Prof. Dr. Harun,. Filsafat Mistisisme dalam Islam, cet.1, Bulan Bintang, Jakarta, 1973.
Hirtenstein, Stephen,. Dari Keragaman Kesatuan Wujud, cet.1, Muria Kencana, Jakarta, 2001.
Goldziher, Ignaz,. Mazhab Tafsir, cet.3, eLSAQ Press, Yogyakarta, 2006



[1] Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir, hlm. 266-267

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah ADAB BERTETANGGA

DIMENSI ALIRAN PEMIKIRAN ISLAM

“Sejarah Perkembangan Psikologi dan Aliran-alirannya