Mere Matkadevi
Don’t judge a book by its cover, pepatah ini sering keluar dalam
buku-buku yang saya baca, atau dalam kisah-kisah heroik dengan tokoh pahlawan
yang tidak begitu tampan, sering tak terduga malah. Benar sih, tapi terkadang
sangat sulit untuk tidak langsung menilai segala sesuatu dari luarnya, karena
hal inilah yang pertama kali terjangkau oleh mata kita. Sama halnya dengan
buku, saya termasuk orang yang mudah terpancing untuk membaca buku setelah
melihat covernya. Nah, buku setebal 232 halaman ini memenuhi criteria digestable hanya dengan melihat
sampulnya (menurut saya).
Sayangnya tulisan 123 karakter lainnya dibawah judul luput dari
perhatian saya karena mengira hanya hiasan tapi ternyata punya arti besar.
Setelah membukanya, alih-alih melihat daftar isi, saya justru dihadapkan pada
deretan nama tokoh yang disusun alfabetis, 124 nama tokoh, hmm agaknya ada
kesalahan disini tak mungkin buku sekecil ini menampung kisah sebanyak itu. Ada
sedikit kecewa karena hasil gelap mata ini, tapi apa mau dikata nasi sudah
menjadi bubur, toh akhirnya harus dimakan juga bukan?
Saya
pun melanjutkan membaca, dan wow halaman demi halaman habis
terlahap dengan nikmatnya, rasa-rasanya seperti makan bubur rasa gado-gado
ditambah permen nano-nano tanpa minum, ramai sekali dan penuh. Karakternya
sangat beragam mulai dari anak-anak usia empat tahun, hingga seseorang yang
berusia delapan puluhan tahun, dari
tukang martabak hingga . Tak
hanya manusia, bahkan juga ada karakter anjing, seperti dalam Blacky Blak.
124 cerita super pendek ini sukses membuat saya merasa miris,
kagum, tercengang sekaligus penuh senyum, kisah-kisahnya sederhana dan tanpa disadari sering
terjadi disekitar kita. Seakan menyadarkan bahwa semua orang punya dramanya
masing-masing.
Tengok
kisah Fira Putri Indriyani yang bangga dengan bapaknya,
seorang superhero dengan seragam putih
tidak hitam seperti batman, punya teman banyak mirip Avenger. Ternyata superhero
kalau berantem rame-rame dan serius banget menghalangi
datangnya Lady Gaga, nah yang terbaru malah ramai di 212. Adapula Arika Dondedieu yang percaya neneknya setengah nabi hanya karena mendengar petuahnya. Lalu kisah nama yang menjadi judul cover juga tak kalah menarik, bagaimana Mere Matkadevi mewawancarai 3 orang perempuan
tentang alasan mereka menyayangi ibunya dan juga alasan mereka menyayangi
anaknya. Dan tiga orang ini seperti cerminan kita semua, begitu banyak alasan
kita ~sebagai anak~ lontarkan untuk menjawab kenapa sayang ibu, ramai-ramai pamer kedekatan dengan posting foto bareng ibu di hari ibu (satu diantara 364 hari) dengan caption seindah dan sepanjang mungkin tapi bagi ibu
sendiri tidak pernah ada alasan kenapa ia sayang anaknya, karena cinta yang tulus
tak perlu alasan apalagi postingan di media sosial. Lha wong mereka juga belum tentu punya.
Bahagia yang sederhana ditunjukkan oleh Cahya Purnama yang menganggap pemadaman bergilir sebagai kebahagiaan bergilir, saat dimana keluarganya saling berbagi cerita dan melupakan gadgetnya masing-masing. Gak melulu soal mind, kisah fiction juga ada seperti Dewi Cantik yang baru keluar dari persembunyiannya langsung diserang karena ternyata dunia telah dikuasai orang jelek dan orang cantik menjadi budak. Menyadarkan bahwa segala perbedaan itu perlu , agar kita tidak cepat bosan dengan dunia ini.
Bahagia yang sederhana ditunjukkan oleh Cahya Purnama yang menganggap pemadaman bergilir sebagai kebahagiaan bergilir, saat dimana keluarganya saling berbagi cerita dan melupakan gadgetnya masing-masing. Gak melulu soal mind, kisah fiction juga ada seperti Dewi Cantik yang baru keluar dari persembunyiannya langsung diserang karena ternyata dunia telah dikuasai orang jelek dan orang cantik menjadi budak. Menyadarkan bahwa segala perbedaan itu perlu , agar kita tidak cepat bosan dengan dunia ini.
Keunikan buku ini tidak berakhir disusunan nama tokohnya saja.
Tapi juga caranya menarasikan dengan menyebutkan umur para tokoh setelah
namanya. Tanpa perlu penjelasan yang panjang dan berbelit pembaca seakan diajak
membaca slice of life yg berwarna-warni dari tokoh-tokoh tersebut.
Rasanya seperti duduk diam di keramaian dan membaca kisah orang-orang yang lalu
lalang. Sst, bahkan penulis juga menjadi salah satu tokoh di buku ini lho.
oya ada satu quote favorit saya dari buku ini
Kadang manusia bisa jadi dewasa untuk masalah orang lain, tapi tidak untuk masalah sendiri, maka dari itu kita perlu teman untuk mendengarkan
Penulis :
Tulus Ciptadi Akib
Penerbit :
Kompas Gramedia
Tahun :
2013
Komentar
Posting Komentar