DIMENSI ALIRAN PEMIKIRAN ISLAM



Mata Kuliah    : Metodologi Studi Islam

Dosen              : Syamsul Hadi, M.Pd






Kelompok I

Ketua       :     Yusuf. Is                                  (smt 5)
Anggota    :      1. Rini Rahayu                        (smt 5)
2. Anas Ghozali                      (smt 5)
3. Dwi Niar Damayanti           (smt 3)
4. Naisah                                (smt 3)


Fakultas Tarbiyah
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama
2009/2010


DIMENSI ALIRAN PEMIKIRAN ISLAM*

     Kemajuan suatu budaya yang merupakan hasil dari karya, karsa dan cita – cita manusia menandai munculnya suatu peradaban. Peradaban suatu bangsa yang akan semakin maju tahap perkembangannya, tahap kejayaannya, menurut teori siklus Ibnu Khaldun, pada gilirannya akan sampai pada fase kehancuran[1]. Dan akan digantikan dengan peradaban yang baru.
     Pada masa sebelum masehi, Yunani kuno pernah mengalami masa kejayaan yang puncaknya ditandai oleh tiga filosof besar ; Socrates, Aristoteles dan Plato. Memasuki abad 9-12 M, peradaban itu berpindah ke negeri Islam - Daulah Abbasiyah di Bagdad dan Daulah Amawiyah di Spanyol -, yang ditandai dengan beberapa temuan ilmiah yang dimunculkan oleh para pemikir muslim. Suasana politik yang memanas baik dari segi internal maupun eksternal, menyebabkan perang yang berujung pada keruntuhan suatu kejayaan.
     Pengaruh Eropa atas dunia Islam diawali dengan perang Salib disamping faktor ekspansi Eropa yang melintasi samudera yang dimulai pada abad 15 ketia Vasco da Gamma membuka jalan laut ke India melalui Tanjung Pengharapan[2]. Sejarah kemudian mencatat, pada Abad 14 M Eropa bangkit dengan peradaban yang maju, Renaissance.. Rasionalisme terjadi pada abad 17 M dan Aufklarung pada abad ke-18.
     Sebagai sebuah agama, Islam yang diwahyukan ilahi sebagai agama samawi kepada nabi-Nya terus menampilkan eksistensinya sampai saat ini dan sampai suatu saat nanti. Salah satu agama terbesar di dunia yang muncul setelah dua agama besar lainya ; Nasrani dan Yaudi, tetap menjadi bagian yang integral dalam peta pemikiran sejarah. Seorang peneliti ketimuran H.R.A. Gibb pernah mengatakan bahwa Islam tidak hanya sebagai satu sistem agama, melainkan juga sistem budaya[3]. Sitem social, budaya dan politik menjadi sesuatu yang inhern dalam Islam.
     Ungkapan Gibb menunjukkan bahwa universalitas Islam sangat memungkinkan untuk dikaji dan di teliti dari segala aspeknya. Salah satu tokoh pemikir muslim di Indonesia, Harun Nasution menulis buku yang bertajuk “ Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya “ yang dijadikan bahan ajar mata kuliah wajib di setiap fakultas dan jurusan di IAIN se-Indinesia.
     Makalah ini akan mencoba melihat Islam lebih dekat lagi tentang tiga dimensi dalam ajaran Islam yang satu sama lain saling terkait walaupun tetap ketiganya terdapat perbedaan yang signifikan. Cendikiawan muslim Nurchalis Madjid mengistilahkan ketiga domensi tersebut dengan trilogi ajaran ilahi[4]. Pembahasan akan dilanjutkan pada masalah aliran pemikiran Islam yang kemudian dicarikan relevansinya dalam masa sekarang.   

  1. Tiga Dimensi Ajaran Islam
     Manusia secara naluri membutuhkan kekuatan diluar dirinya agar ia terbebas dari rasa ketakutan-ketakutan. Ketakutan akan hidup dan kehidupannya membuat ia harus mencari pelindung. Mereka datang ke tempat-tempat sepi dan sunyi, ke gunug-gunung, mendatangi pepohonan dan bebatuan, kepada roh nenek moyang untuk meminta perlindungan. Inilah yang kita kenal dengan zaman animisme – dinamisme.
     Sedari awal bangsa kita adalah bangsa yang ber-Tuhan, bangsa yang memiliki nilai-nilai luhur, bangsa yang menganut agama tertentu. Mereka sadar bahwa di dalam agama ada nilai-nilai yang mengatur agar kehidupan ini berjalan secara normative dan harmonis. Ajaran agama sebagai suatu totalitas system nilai menunjukkan umatnya kepada jalan kehidupan yang bahagia. Bagi Nurcholish Madjid, agama merupakan suatu cara manusia menemukan makna hidup dan dunia yang menjadi lingkungannya[5].  
     Seorang filsuf besar, Socrates (Filsuf Yunani: 470-399 SM), berkeyakinan bahwa sesuatu yang ingin dicapai oleh manusia sesungguhnya adalah kebahagiaan jiwa. Untuk mencapai itu manusia harus melakukan amal baik. Dan amal baik hanya dapat dilakukan jika dengan pengetahuan tentang yang ‘baik’ itu.
     Sesuatu yang ‘baik’ itu adalah ajaran itu sendiri, yang dalam hal ini dapatlah kita katakana bahwa ajaran agama merupakan sesuatu yang baik. Sebab agama manapun saja, dengan tidak bermaksud meyakini, pada dasarnya mengajarkan pemeluknya untuk berbuat baik. Islam sebagai agama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW adalah untuk memberikan petunjuk kepada manusia akan jalan yang ‘baik’ itu (li irsyadin nass).
     Ajaran dalam Islam mencangkup hubungan manusia dengan Tuan-nya (hablum minallah), hubungan manusia dengan manusia (hablum minannas), dan hubungan manusia dengan alam (hablum minal ‘alam). Tiga dimensi dalam ajaran Islam adalah; Iman, Islam dan Ihsan. Iman merupakan sistem kepercayaan kepada ; 1) Allah SWT, 2) para malaikat, 3) para rasul, 4) kitab suci,5) hari akhir dan, 6) percaya pada qadla dan qadar-Nya. Orang yang mempunyai kepercayaan ini dikatakan mukmin (kata sifat dari masdar iimaanan[6]).
     Ulama mutakllimin kemudian mendefinisikan iman secara terminologis sebagai menyatakan dengan ucapan, meyakini dihati dan mengimplementasikannya dalam bentuk tindakan. Iman kepada Allah SWT ialah kita percaya bahwa Ia adalah Tuhan yang Maha Esa yang tiada sekutu baginya. Ikrar ini harus diucapkan dalam bentuk pernyataan disamping hatinyapun ikut membenarkan dan direfleksikan dalam sikap. Sehingga orang yang telah mengikrarkan peryataan tersebut namun tindakannya menduakan Tuhan, maka bukan saja tidak sempurna tetapi juga tidak benar menurut pengertian iman secara terminologis.
Implemetasi iman dapat diketahui dengan mempraktekkan nilai-nilai yang ada dalam Islam. Kata Islam[7] diambil dari kata salam/salamah yang berarti keselamatan/pasrah. Bentuk kata sifatnya adalah muslim. Seorang muslim adalah seorang yang pasrah pada Tuhannya, pasrah pada apa yang diperintahkan-Nya. Jika iman sebagai suatu sistem kredo maka dapatlah kita katakan bahwa Islam adalah bentuk ritus. Ritualitas dianggap penting karena sebagai implementasi iman. Bagi Gus Dur, Islam harus ditilik dari fungsinya sebagai pandangan hidup yang mementingkan kesejahteraan warga masyarakat, apa pun bentuk masyarakat yang digunakan[8].  
     Dengan demikian, sakralitas agama tetap menemukan nuansanya. Agama tidak sekumpulan ide, gagasan, nasehat an sich. Melainkan sebagai jalan hidup (way of life) yang akan mengantarkan pemeluknya kapada hidup dan kehidupan yang bahagia. Jika ajaran agama hanya sampai pada tataran pemikiran tanpa terimplemtasi dalam segala tindak-tanduk, maka ia hanya akan menjadi objek perdebatan, paling kurang hanya menjadi kebutuhan analisis belaka.
     Sebagaimana dalam iman, dalam Islam ada lima item yang perlu diharus ; (1)membaca dua kalimat syahadat, (2)mendirikan sholat, (3)menjalankan puasa pada bulan ramadlan, (4)menunaikan zakat dan,(5) haji bagi yang mampu. Dari iman dan Islam itu dapatlah kita katakan bahwa manusia sebagai makhluk yang di ciftakan Tuhan mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi baik keadaannya sebagai makhluk individu maupun sosial. Hablum minallah tercermin dalam Iman dan hablum nin an-nass tercermin dalam Islam. Ini berarti iman mestinya dapat diaktualisasikan menjadi aksi kemanusiaan, yang dalam istilah Kuntowijoyo disebut humanisme-teosentris[9].
     Yang ketiga dari ajaran Islam adalah ihsan yang merupakan demensi hakiki dalam pencapaian keberagamaan seseorang. Makna ihsan digambarkan oleh Rasul SAW dengan kalimat “ Engkau sembah Tuhan seakan-akan engkau melihat-Nya ; apabila engkau tidak melihat-Nya, maka (engkau berkeyakinan) bahwa Dia meliatmu... “. Penekannya pada hakikat subtansi terdalam dalam perkembangan keagamaan. Seorang mukmin muslim dan muhsin dalam mengamalkan nilai-nilai agama tidak hanya dipandang dari sisi eksoterisnya saja tetapi juga dari sisi esoterisnya. Jika dari iman dan Islam-nya telah dapat manungggal, maka dari ihsan itu akan muncul sikap ;khusuk, istiqamah, ridlo’ dan sikap –sikap terpuji lainnya.
     Ketiga dimensi diatas dapatlah kita analogikan kedalam ajaran tauhid, fiqh dan tasawuf yang sesungguhnya satu sama lain saling terkait dan tak dapat dipisahkan walaupun tetap dapat dibedakan. Ketiga kajian bidang keIslaman ini selanjutnya akan kita lihat sebagai sentral dari beberapa aliran yang berkembang dalam Islam.      
    
  1. Aliran Pemikiran Islam
     Dalam sejarah Islam paska wafatnya Rasul SAW perselisihan dan perbedaan pendapat diantara para pengikutnya mulai terlihat terutama masalah siapa yang berhak untuk memimimpin menggantikan posisi rasul. Berbeda ketika masih dipimpin Rasul. Tidak ada perbedaan dan perselisihan. Hal ini dapat dipahami bahwa rasul SAW adalah satu-satunya tempat bermuara segala persoalan yang melanda umat baik masalah duniawiah maupun ukrawiyah. Umat bersatu padau dalam satu kepemimpinan yang mutlak (absolut) tanpa pertentangan, karena sikap perbuatan dan perkataan Rasul adalah wahyu ilahi yang tidak terbantahkan.
     Perbedaan yang terjadi diantara umat adalah sebab cara mendengar dan menerima qaul (hadits) dari nabi berbeda-beda sehingga pemamahan mereka dalam mentafsirkannyapun terkadang menyisihkan perdebatan. Oleh karena itu menyikapi perbedaan yang terjadi itu haruslah dengan bijaksana dan arif. Bukankah perbedaan itu menjadi rahmat bagi umat. Dan, sikap berbeda adalah hak manusia yang dasariah. Memaksakan persamaan adalah suatu pengkhianatan yang tidak dapat dibenarkan baik dari hukum agama maupun hukum negara.
     Diatas telah kami singgung bahwa perbedaan dan perselisihan yang terjadi di dalam Islam sesungguhnya berawal dari masalah politik kepemimpinan ketika paska wafatnya Rasul SAW. Dari pihak kaum Muhajirin mencalonkan Abu Bakar sebagai penganti Rasul SAW sedangkan kaum Anshar mencalonkan Sa’ad bin Ubadah. Mereka berkumpul di rumah Bani Staqifah. Kesepakatan musytamirin akhirnya menyepakati bahwa Abu Bakar adalah sebagai khalifah pertama pengannti Rasul SAW.
     Sementara itu, dari pihak ketiga yang tidak hadir di permusaywatan itu menentukan dan menganggap sah bahwa Ali lah yang sebenarnya lebih berhak menjadi penganti nabi karena ia adalah mantu Rasul SAW. Pihak ketiga ini yang nantinya menjadi cikal-bakal aliran syi’ah dalam Islam.
     Suasana politik semakin memanas saat terjadi perang Siffin pada bulan Sofar 37 H antara Mua’wiyah dan Ali. Peperangan itu berakhir dengan tahkim dimana sahabat Ali mengizinkan perang untuk dihentikan saat panglima tentara Muawiyah mengacungkan al-Qur’an di ujung tombak. Peristiwa itu memunculkan perselisihan diantara pihak Ali sendiri. Mereka yang sepakat dengan keputusan Ali dan mereka yang tidak setuju dengan Ali dengan alasan bahwa Ali tidak mengambil keputusan berdasarkan Al-Qur’an, La Hukma Illa Lillah (Tidak ada hukum kecuali dari Allah), itulah yang mereka selalu gembar-gemborkan. Kelompok pertama dalam sejarah ilmu kalam disebut aliran Syi’ah dan kelompok kedua dinamakan Khawarij. 
     Pada perkembangannya aliran Syi’ah dan Khawajir terpecah kedalam banyak sekte. Secara umum Syiah dikelompokkan menjadi tiga ; 1) Syi’ah Mufaddlolat, 2) Syiah Rofidloh, 3) Syi’ah Ghullat[10]. Sedangkan Khawarij terbagi menjadi ; 1) Azariqah, 2) Najdah, 3) Ibadiyyah, 4) Soffariyah[11]. Sedangkan kelompok yang tidak sependapat dengan Syi’ah dan tidak juga setuju dengan Khawarij dalam sejarah disebut Murji’ah.
     Disamping itu ada sebuah paham keagamaan tetapi tidak termasuk sebuah aliran, hanya sebuah pemikiran, yakni faham Qadariyyah dan Jabbariyah. Menurut T.M. Hasbi As-Shiddieqi, qodariyah berafiliasi ke dalam aliran Mu’tazilah[12].
     Perdebatan yang berawal dari siapakah yang berhak menjadi pemimpin (khalifah) pengganti Nabi SAW berkembang pada masalah bagaimana hukumnya orang yang termasuk pelaku dosa besar (murtakib al-kaba’ir). Jadilah perdebatan yang sifatnya politis menjadi perselisihan yang bersifat teologis. Dalam sejarah ilmu kalam muncul aliran yang kemudian disebut Mu’tazilah. Yunan Yusuf dalam disertasinya mengatakan :

“ Di bawah bayangan penilaian terhadap orang mukmin pembuat dosa besar, yang diakui sebagai benih penyebab timbulnya pertentangan teologis dalam Islam, muncul aliran Mu’tazilah, dengan paham posisi tengah, antara kafir menurut Khawarij dan tetap mukmin menurut Murji’ah, dengan predikat fasiq“.[13]

     Dari paham Mu’tazilah ini berkembang aliran yang kemudian dinamakan Ahli Sunnah wal Jama’ah sebagai antitesissnya. Adalah Abul Hasan al-Asy’ari yang selama 40 tahun menjadi pengikut setianya Ali Al-Jubba’i harus memisahkan diri dari kelompok Mu’tazilah dikarenakan suatu perdebatan. Perdebatan itu seputar masalah apakah seorang hukumnya seorang mukmin, kafir dan anak kecil[14]. Jawaban sang murid yang memukau itu membuat sang guru terdiam seribu bahasa. kafir itu masuk surga atau neraka. 
     Perbedaan paham yang cukup serius adalah seputar makna kebenaran. As’ariyah berpendapat bahwa baik dan buruk itu hanya dapat diketahui oleh wahyu, akal tidaklah cukup untuk mengetahui hal itu sebab kemampuan akal sangat terbatas. Sedangkan bagi kaum Mu’tazilah akal itu dapat mengetahui perkara baik dan buruk. Wahyu sebenarnya tidak perlu karena dengan akal, manusia dapat mengetahui kebenaran. Wahyu diperlukan hanya untuk memperkuat saja[15]. Kaum Ahli sunnah wal Jam’ah yang dipelopori oleh Abu Mansur al-Maturidly kemudian terpecah menjadi dua kelompok; pertama Maturidliyah Samarkand dan kedua Maturidliyah Bukhara.
     Paham Ahli sunnah wal Jama’ah di Indonesia pada level structural dikenal dengan organisasi Nahdlotul Ulama yang didirikan pada tahun 31 Januari !926 M. Para ulama NU dahulu mendefinisikan ASWAJA (Ahlu sunnah wal Jama’ah) dengan; a). paham tauhidnya mengikuti salah satu dari dua imam, Abul Hasan al-Asy’ari dan Abul Mansur al-Maturidli, b). paham fiqhnya mengikuti salah satu dari ke empat imam; Abu Hanifah, Malik, Syafi’I dan Ahmad bin Hambal, c). paham tasawufnya mengikuti salah satu dari dua imam, Abul Qasim Junaid al-Bagdadi dan Imam Ghozali.
     Paham ASWAJA yang tersebut diatas kini lebih dikembangkan lagi oleh seorang tokoh, yang kini menjabat sebagai Ketua Pengurus Besar NU, K.H. Sa’id Aqiel Siraj, sebagai Manhaj al-fikr (metode berpikir)[16]. Konsep ini tentu lebih longgar dibandingkan dengan definisi yang pertama. Namun demikian, dapat kita maklumi mengapa Hadlrotusy Syaikh K.H. Hasyim As’ari (Pendiri NU) mendefinisikan ASWAJA secara simple dan cukup ketat itu. Hemat penulis karena pada saat itu mayoritas umat (terutama warga NU) masih dalam tarap pendidikan rendah akibat hegemoni colonial Belanda. Dan agar dapat dipahami bahwa berdirinya NU diantaranya dilatar belakangi oleh keharusan mengikuti madzhab.
          
  1. Kilas Balik Pemikiran Islam
     Penelitian agama (research on religion) dapat kita bedakan dengan penelitian keagamaan (religius research). Jika yang pertama materi agama tertentu yang menjadi objek penelitiannya, maka yang kedua objek penelitiannya adalah agama sebagai produk interaksi social[17]. Penelitian agama Islam berarti kegiatan meneliti ilmu tauhid, fiqh, atau tasawuf. Sedang penelitian keagamaan berarti meneliti tentang keadaan pelaku agama dimaksud.
      W. Montgomery Watt dalam meyikapi permasalahan dasar yang berkembang dalam dunia Islam mengelompokkan ke dalam dua arus utama. Kaum muslim yang secara sepenuhnya menerima pandangan dunia tradisional serta berkehendak mempertahankannya secara utuh disebut Islam Fundamentalis (konservatif/tradisionalis). Dan kaum muslim yang memnadang bahwa pandangan dunia tersebut perlu diperbaiki dalam beberapa hal disebut kaum liberal[18]. Pemikir muslim seperti Muhammad Abduh, Hasan al-Banna, Maududli, sekte Ahmadiyah dikelompokkannya dalam Islam kaum konservatif. Dan fazlur Rahman dari Pakistan dan Muhammad Arkoun dari al-Jazair sebagai cotoh tokoh pemikir liberal.
     Dalam konteks di Indonesia, kelompok kaum tradisional ini diwakili oleh organisasi NU dan sebagai wakil pemikiran Liberal adalah Nurcholis Madjdid.[19]Kita boleh saja mengatakan itu tidak sepenuhnya tepat. Sebab apa yang disebutnya tradisional ternyata juga berpikir secara moderat. Di dalam organisasi NU, dapatlah kita sebutkan disini seorang tokoh, Gus Dur sebagai yang mewakilinya. Menurut buku yang ditulis Ubaidillah Achmad bahwa ia memposisikan Gus Dur sebagai orang yang teguh dalam mempertaankan nilai-nilai tradisional dan pada saat yang bersamaan pula ia bertindak sebagai aktifis Liberal[20].
     Sedangkan bagi Nurcholish Madjid, Islam, pada diri sendirinya, secara inheren dan aslinya adalah agama yang “selalu modern”. Terkait paham liberalnya Nurcholish Madjid mengatakan lebih lanjut:

“ Dari ungkapan tersebut kita hendak menarik pengertian bahwa pembaharuan harus dimulai dengan dua tindakan yang saling erat hubungannya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional, dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Nostalgia, atau orientasi dan kerinduan masa lampau yang berlebihan, harus digantikan pandangan ke masa depan. Untuk itu diperlukan suatu proses liberalisasi”. [21]    

     Dari dua peristilahan dan dua tokoh yang kita diskusiakan di muka, maka kita dapat memahami bahwa Islam sebagai sebuah agama diharapkan bagi para pengikutnyan untuk selalu dapat berinteraksi dengan dunia modern secara kontruktif. Hukum yang bersifat qoth’I (pasti: touch-able) mesti kita terima secara mutlak. Dan ini tidak perlu diperdebatkan. Namun dogma Islam yang bersifat zdonny (prasangka: untouch-able) masih banyak yang perlu dikaji ulang dalam kaitannya mengadapi tantangan zaman.
     Dalam dunia global yang ditandai dengan teknologi dan pengetahuan global, maka ajaran Islam yang bersifat global harus terus mendapatkan konsentrasinya secara penuh, jika kita ingin Islam tetap sebagai agama yang Ya’luu wa la yu’la ‘alaih. Ushul fiqh yang dikembangkan ulama adalah sebagai sebuah peluang untuk kita jadikan sebagai alat kaca mata Islam dalam melihat dunia yang semakin kompleks ini. Wal hukmu min syurutihi an yatba’a illatahu nafyan wa istbatan ma’a (Hukum selalu disesuaikan dengan kondisi dan situasinya). 




DAFTAR PUSTAKA

Bahan Primer:  Hakim, Abd. Atang, Drs., MA., dan Mubarok, Jaih, Dr., Metodologi  
                             Studi Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), Cet ke-11.

1.                    Achmad, Ubaidillah, Gus Dur Pergulatan Antara Tradisionalis VS Liberalis, (Jombang Jawa Timut: Madani Adil Makmur, 2005), Cet. I.
2.                    Ash-Shiddieqy, Hasbi, T.M., Prof. Dr., Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), Cet. I.
3.                    Khaldun, Ibnu, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Terjemahan Ahmadie Thoha dari Muqaddimah, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2008), Cet. VII.
4.                    Madjid, Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Pengantar dari M. Dawam Rahardjo, (Bandung: Mizan, 1989), Cet. III.
5.                    Nasution, Harun, Prof., Dr., Islam Ditinjau dari Segala Aspeknya, (Jakarta: UI-Press, 1985), Cet. V.
6.                    Nata, Abuddin Nata, Dr., H., MA., Teologi Islam, (Jakarta : Departemen Agama RI, 1997), Cet.I.
7.                    Solahudin, M., dkk., Hasil Kongres Ke-XVI Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) 2008/2010, (Jakarta: PB PMII, 2008)
8.                    Watt, Montgomery, W., Prof., Fundamentalisme Islam dan Modernitas, TerjemahanTaufik Adnan Amal dari Islamic Fundamentalism and Modernity, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2001), Cet. II.
9.                    Yatim, Badri, Dr., M.A., Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006)
10.                Yusuf, Yunan, M., Dr., Prof., Corak Pemikiran kalam Tafsir Al-Azhar, Sebuah Telaah Atas Pemikiran Hamka Dalam Teologi Islam, (Jakarta: Penamadani, 2004), Cet.III. (Disertasi)




* Makalah ini dipresentasikan oleh : Yusuf. Is, Anas Ghozali,Rini Rahayu, Dwi Niar dan Naisah 
[1] Kondisi dinasti biasanya tidak lebih dari lima tahap; 1) tahap sukses, 2) tahap penguasa mulai bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya, 3) tahap senang sentosa ketika buah kedaulatan telah dinikmati, 4) tahap kepuasan hati, tentram damai tata raharja, 5) tahap boros dan hidup berlebihan. Lihat, Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Terjemahan Ahmadie Thoha dari Muqaddimah, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2008), Cet. VII, hlm. 214-216.
[2] Prof. W. Montgomery Watt, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, TerjemahanTaufik Adnan Amal dari Islamic Fundamentalism and Modernity, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2001), Cet. II, hlm. 92.
[3] “ Islam is indeed much more than a system of theology, it is a complete civilization “. Lihat, Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 2.
[4] Drs. Atang Abd. Hakim, MA dan Dr. Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), Cet ke-11, hlm. 149.
[5] Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Pengantar dari M. Dawam Rahardjo, (Bandung: Mizan, 1989), Cet. III, hlm. 156.
[6] امن – يؤمن – ايمانا - مؤمن
[7] اسلم – يسلم - اسلاما
[8]  Ubaidillah Achmad, Gus Dur Pergulatan Antara Tradisionalis VS Liberalis, (Jombang Jawa Timut: Madani Adil Makmur, 2005), Cet. I, hlm, 110.
[9] Op.cit., Drs. Atang Abd. Hakim, MA dan Dr. Jaih Mubarok, hlm. 44.
[10] Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), Cet. I, hlm. 141.
[11] Ibid., hlm. 158-164.
[12] Ibid., hlm. 10.
[13] Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran kalam Tafsir Al-Azhar, Sebuah Telaah Atas Pemikiran Hamka Dalam Teologi Islam, (Jakarta: Penamadani, 2004), Cet.III, hlm. 5. (Disertasi) 
[14] Dr. H. Abuddin Nata, MA., Teologi Islam, (Jakarta : Departemen Agama RI, 1997), Cet.I, hlm. 167.  
[15] Prof. Dr. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Segala Aspeknya, (Jakarta: UI-Press, 1985), Cet. V, hlm. 52.
[16] M. Solahudin, dkk., Hasil Kongres Ke-XVI Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) 2008/2010, (Jakarta: PB PMII, 2008), hlm. 44.
[17] Op. cit., Drs. Atang Abd. Hakim, MA., hlm. 63. 
[18] Op. cit., Prof. W. Montgomery Watt, hlm. 4.  
[19] Ibid., hlm, 139.
[20] Op. cit., Ubaidillah Achmad, hlm. 6.
[21] Op. cit., Nurcholish Madjid, hlm. 206. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah ADAB BERTETANGGA

“Sejarah Perkembangan Psikologi dan Aliran-alirannya