Tokoh Pembaruan di Mesir
RASYID RIDHA
( Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Aliran modern dalam Islam )
Dosen : Tohirin
Disusun oleh :
1. Dwi Niar Damayanti
2.
Soriyah
Fakultas Tarbiyah
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama
2009/2010
Pendahuluan
Dalam sejarah pemikiran islam
modern,Syekh Muhammad Abduh dikenal
sebagai tokoh pembaruan yang paling berhasil. Gagasan pembaruannya tidak
hanya berpengaruh di negeri sendiri,Mesir, tapi juga negeri-negeri islam
lainnya yang ada di Timur Tengah,Maroko,Afrika Utara,hingga ke Indonesia,Asia
Tenggara.[1] Namun,keberhasilannya
tersebut dapat terwujud bukan karena hasil upayanya semata,melainkan juga
berkat upaya dan kontribusi muridnya,Sayyid Muhammad Rasyid Ridha,yang tidak
pernah mengenal lelah dalam menyebarluaskan pemikiran-pemikiran tokoh itu ke
seluruh dunia islam melalui majalah al-Manar,tafsir al-Manar,dan karya-karyanya
yang lain.
Menurut Abdullah Mahmud Syahatah,seandainya
Ridha tidak pernah mempublikasikan gagasan pembaruan Abduh,kita tidak akan
dapat mengenal gagasannya yang brillian,khususnya di bidang tafsir.[2]
Senada dengan pernyataan Syahatah,Anwar al-Jundi juga mengatakan bahwa jika
bukan karenaRidha melalui majalah al-Manar,sebagian besar pemikiran abduh pasti
sudah hilang.
Lebih dari itu Abduh sendiri
mengakui hal tersebut,hal ini tampak dalam pernyataannya :
“Tidak ada seorangpun diantara kalian yang mampu mengambilalih
tugasnya,Bawalah orang lain seperti dia kepadaku,aku akan meninggalkannya.Ia
tidak pernah mengatakan kepadaku seperti apa yang telah kalian katakana
itu.Sekarang aku tegaskan kepada kalian bahwa Tuhan telah mengirim pemuda itu
kepadaku untuk memperpanjang usiaku dan menambah jatah hidupku.Banyak hal
didalam benakku yang ingin aku tulis dan sampaikan kepada umat, namun aku tidak
dapat melakukuannya,karena berbagai kesulitan yang membelitku. Karena itu hanya
dia yang kemudian dapat melakukannya seperti yang ingin aku sampaikan, Apabila
aku menyabut suatu topic kepadanya untuk ditulis dalam al-Manar, ia lantas
menulisnya seperti yang ingin aku tulis dan katakana. Ia yang menyelesaikan apa
yang telah aku mulai dan menguraikan apa yang aku sebutkan garis besarnya.
Dalam lawatanku ke Tunisia dan Eropa, aku sempat melihat hasil jerih payahnya
dan pengaruh dari majalah al-Manar yang dikelolanya. Hal itu tidak pernah aku
prediksikan sebelumnya. Bahkan ia juga telah berhasil menghimpun sejumlah
kelompok, murid, dan sahabat yang menjadi pendukungku”.[3]
Pembahasan
Biografi
Sosok intelektual satu ini
bernama lengkap Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Syamsuddin bin Baha'uddin
Al-Qalmuni Al-Husaini. Namun, dunia Islam lebih mengenalnya dengan nama
Muhammad Rasyid Ridha. Ia lahir di daerah Qalamun (sekitar 3 mil jauhnya dari
Kota Tripoli, Lebanon) pada 27 Jumadil ula 1282 H atau 18 oktober 1865 M.[4]
Ayah dan ibu Ridha berasal dari
keturunan al-Husayn,putra Ali bin Abi Thalib dengan Fathimah,putri Rosulullah
SAW.[5]
Semasa kecilnya, Rasyid Ridha
dimasukkan oleh orang tuanya ke madrasah tradisional di desanya, Qalamun, untuk
belajar membaca Alquran, belajar menulis, dan berhitung. Berbeda dengan
anak-anak seusianya, Rasyid kecil lebih sering menghabiskan waktunya untuk
belajar dan membaca buku daripada bermain, dan sejak kecil memang ia telah
memiliki kecerdasan yang tinggi dan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan.
Setelah menyelesaikan belajar baca tulisnya, dalam usia sekitar 17 tahun, Rasyid Ridha melanjutkan studinya ke Madrasah Al-Wathaniyyah Al-Islamiyyah,. merupakan sekolah yang didirikan dan dipimpin oleh Syaikh Al-Jisr, seorang ulama besar Libanon yang telah dipengaruhi oleh ide-ide pembaruan al-Sayyid Jamaludin al_Afghani dan Syekh Muhammad Abduh.[6]
Di sini, Rasyid Ridha belajar
pengetahuan agama dan bahasa Arab secara lebih mendalam. Selain itu, ia juga
belajar ilmu bumi, ilmu berhitung, dan pengetahuan modern lain, seperti bahasa
Prancis dan Turki.
Namun, Rasyid Ridha tidak dapat
lama belajar di sekolah ini karena sekolah tersebut terpaksa ditutup setelah
mendapat hambatan politik dari pemerintah Kerajaan Usmani. Untuk tetap melanjutkan
studinya, dia pun pindah ke salah satu sekolah agama yang ada di Tripoli.
Meskipun sudah pindah sekolah, tetapi hubungan Ridha dengan guru utamanya saat
di Madrasah Al-Wathaniyyah Al-Islamiyyah terus berlanjut.
Sang gurulah yang telah banyak berjasa dalam menumbuhkan semangat ilmiah dan ide pembaruan dalam diri Rasyid Ridha di kemudian hari. Di antara pikiran gurunya yang sangat berpengaruh adalah pernyataan bahwa satu-satunya jalan yang harus ditempuh umat Islam untuk mencapai kemajuan adalah memadukan pendidikan agama dan pendidikan umum dengan metode modern. Hal tersebut didasari kenyataan sekolah-sekolah yang didirikan bangsa Eropa saat ini banyak diminati oleh para pelajar dari seluruh penjuru dunia, padahal tidak disajikan pelajaran agama di dalamnya.
Selain menekuni pelajaran di sekolah tempat ia menimba ilmu, Rasyid Ridha juga rajin mengikuti beberapa perkembangan dunia Islam melalui surat kabar Al-'Urwah Al-Wusqo (sebuah surat kabar berbahasa Arab yang dikelola oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, dan diterbitkan selama masa pengasingan mereka di Paris)[7].
Melalui surat kabar ini, Rasyid Ridha mengenal gagasan dua tokoh pembaru yang sangat dikaguminya, yaitu Jamaluddin Al-Afghani, seorang pemimpin pembaru dari Afghanistan, dan Muhammad Abduh, seorang pembaru dari Mesir. Ide-ide brilian yang dipublikasikan itu begitu berkesan dalam dirinya dan menimbulkan keinginan kuat untuk bergabung dan berguru pada kedua tokoh itu.
Sang gurulah yang telah banyak berjasa dalam menumbuhkan semangat ilmiah dan ide pembaruan dalam diri Rasyid Ridha di kemudian hari. Di antara pikiran gurunya yang sangat berpengaruh adalah pernyataan bahwa satu-satunya jalan yang harus ditempuh umat Islam untuk mencapai kemajuan adalah memadukan pendidikan agama dan pendidikan umum dengan metode modern. Hal tersebut didasari kenyataan sekolah-sekolah yang didirikan bangsa Eropa saat ini banyak diminati oleh para pelajar dari seluruh penjuru dunia, padahal tidak disajikan pelajaran agama di dalamnya.
Selain menekuni pelajaran di sekolah tempat ia menimba ilmu, Rasyid Ridha juga rajin mengikuti beberapa perkembangan dunia Islam melalui surat kabar Al-'Urwah Al-Wusqo (sebuah surat kabar berbahasa Arab yang dikelola oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, dan diterbitkan selama masa pengasingan mereka di Paris)[7].
Melalui surat kabar ini, Rasyid Ridha mengenal gagasan dua tokoh pembaru yang sangat dikaguminya, yaitu Jamaluddin Al-Afghani, seorang pemimpin pembaru dari Afghanistan, dan Muhammad Abduh, seorang pembaru dari Mesir. Ide-ide brilian yang dipublikasikan itu begitu berkesan dalam dirinya dan menimbulkan keinginan kuat untuk bergabung dan berguru pada kedua tokoh itu.
Keinginan untuk bertemu dengan
Al-Afghani ternyata belum tercapai, karena tokoh ini lebih dahulu meninggal
dunia. Namun, ketika Muhammad Abduh dibuang ke Beirut pada akhir 1882, Rasyid
Ridha berkesempatan berdialog serta saling bertukar ide dengan Abduh. Pertemuan
dan dialog dengan Muhammad Abduh semakin menumbuhkan semangat juang dalam
dirinya untuk melepaskan umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan
kebodohannya.
Di Lebanon, Rasyid Ridha mencoba
menerapkan ide-ide pembaruan yang diperolehnya. Namun, upayanya ini mendapat
tentangan dan tekanan politik dari Kerajaan Turki Usmani yang tidak menerima
ide-ide pembaharuan yang dilontarkannya. Akibat semakin besarnya tentangan itu,
akhirnya pada 1898, Rasyid Ridha pindah ke Mesir mengikuti gurunya,
Muhammad Abduh, yang telah lama tinggal di sana.
Di kota ini, Rasyid Ridha
langsung menemui Muhammad Abduh dan menyatakan keinginannya untuk menjadi murid
dan pengikut setia Abduh. Sejak saat itu, Rasyid Ridha merupakan sosok murid
yang paling dekat dan setia kepada Abduh.
Pembaruan
Di samping banyak memperdalam pengetahuan dan ide pembaharuan, Rasyid Ridha pun mengusulkan kepada sang guru agar menerbitkan sebuah majalah yang akan menyiarkan ide-ide dan pemikiran mereka.Majalah al-Manar mulai terbit tanggal 15 maret 1989.Isinya antara lain, menyebarkan ide-ide pembaharuan dalam bidang agama, sosial, dan ekonomi; memajukan umat Islam dan menjernihkan ajaran Islam dari segala paham yang menyimpang; serta membangkitkan semangat persatuan umat Islam dalam menghadapi berbagai intervensi dari luar. Dalam perjalanannya majalah ini banyak mendapat sambutan, karena ide-ide pembaharuan yang dilontarkan dalam setiap tulisannya.
Setelah menerbitkan majalah Al-Manar, Rasyid Ridha juga masih sangat aktif menulis dan mengarang berbagai buku dan kitab. Dia sempat mengajukan saran kepada gurunya agar menafsirkan kitab suci Alquran dengan penafsiran yang relevan dengan perkembangan zaman.
Melalui kuliah tafsir yang rutin
dilakukan di Universitas Al-Azhar, Rasyid Ridha selalu mencatat ide-ide
pembaharuan yang muncul dalam kuliah yang diberikan Muhammad Abduh.
Selanjutnya, catatan-catatan itu disusun secara sistematis dan diserahkan
kepada sang guru untuk diperiksa kembali. Selesai diperiksa dan mendapat
pengesahan, barulah tulisan itu diterbitkan dalam majalah Al-Manar. Kumpulan
tulisan mengenai tafsir yang termuat dalam majalah Al-Manar inilah yang
kemudian dibukukan menjadi Tafsir Al-Manar.
Pengajaran tafsir yang dilakukan Muhammad Abduh ini hanya sampai pada surah An-Nisa ayat 125, dan merupakan jilid ketiga dari seluruh Tafsir Al-Manar. Hal ini dikarenakan Muhammad Abduh telah dipanggil kehadirat Allah SWT pada 1905, sebelum menyelesaikan penafsiran seluruh isi Alquran. Maka, untuk melengkapi tafsir tersebut, Rasyid Ridha melanjutkan kajian tafsir sang guru hingga selesai.
Karya-karya yang dihasilkan semasa hidup Rasyid Ridha pun cukup banyak. Antara lain, Tarikh Al-Ustadz Al-Imama Asy-Syaikh 'Abduh (Sejarah Hidup Imam Syaikh Muhammad Abduh), Nida' Li Al-Jins Al-Latif (Panggilan terhadap Kaum Wanita), Al-Wahyu Muhammad (Wahyu Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW), Yusr Al-Islam wa Usul At-Tasyri' Al-'Am (Kemudahan Agama Islam dan dasar-dasar umum penetapan hukum Islam), Al-Khilafah wa Al-Imamah Al-Uzma (Kekhalifahan dan Imam-imam besar), Muhawarah Al-Muslih wa Al-Muqallid (dialog antara kaum pembaharu dan konservatif), Zikra Al-Maulid An-Nabawiy (Peringatan Kelahiran Nabi Muhammad SAW), dan Haquq Al-Mar'ah As-Salihah (hak-hak wanita Muslim).
Selain dalam hal pemikiran modern, arah pembaharuan pemikiran Rasyid Ridha tidak jauh berbeda dengan sang guru, Muhammad Abduh. Ide-ide pembaharuan penting yang dikumandangkan Rasyid Ridha, antara lain, dalam bidang agama, pendidikan, dan politik.
Di bidang agama, Rasyid Ridha mengatakan bahwa umat Islam lemah karena mereka tidak lagi mengamalkan ajaran-ajaran Islam yang murni seperti yang dipraktekkan pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat. Melainkan ajaran-ajaran yang menyimpang dan lebih banyak bercampur dengan bid'ah dan khurafat. Ia menegaskan jika umat Islam ingin maju, mereka harus kembali berpegang kepada Alquran dan Sunah.[8]
Di bidang pendidikan, Rasyid
Ridha berpendapat bahwa umat Islam akan maju jika menguasai bidang ini. Oleh
karenanya, dia banyak mengimbau dan mendorong umat Islam untuk menggunakan
kekayaannya bagi pembangunan lembaga-lembaga pendidikan. Dalam bidang ini,
Ridha pun berupaya memajukan ide pengembangan kurikulum dengan muatan ilmu
agama dan umum. Dan sebagai bentuk kepeduliannya, ia mendirikan sekolah di
Kairo pada 1912 yang diberi nama Madrasah Ad-Da'wah wa Al-Irsyad.
Dalam bidang politik, Rasyid
Ridha tertarik dengan ide Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam). Sebab, ia
banyak melihat penyebab kemunduran Islam, antara lain, karena perpecahan yang
terjadi di kalangan mereka sendiri. Untuk itu, dia menyeru umat Islam agar bersatu
kembali di bawah satu keyakinan, satu sistem moral, satu sistem pendidikan, dan
tunduk dalam satu sistem hukum dalam satu kekuasaan yang berbentuk negara.
Namun, negara yang diinginkannya bukan seperti konsep Barat, melainkan negara
dalam bentuk khilafah (kekhalifahan) seperti pada masa Al-khulafa ar-Rasyidin.
Dia menganjurkan pembentukan organisasi Al-jami'ah al-Islamiyah (Persatuan Umat
Islam) di bawah naungan khalifah.
Khalifah ideal, menurutnya,
adalah sosok yang dapat memenuhi beberapa persyaratan, antara lain, dari segi
keadilan, kemampuan, sifat mengutamakan kepentingan masyarakat di atas
kepentingan pribadi.
Khalifah harus ditaati sepanjang
pemerintahannya dijalankan sesuai dengan ajaran agama. Ia merupakan kepala atau
pemimpin umat Islam sedunia, meskipun tidak memerintah secara langsung setiap
negara anggota. Dan menurut Rasyid Ridha, seorang khalifah hendaknya juga
seorang mujtahid besar yang dihormati. Di bawah khalifah seperti inilah
kesatuan dan kemajuan umat Islam dapat terwujud.
Kiprah Rasyid Ridha dalam dunia politik secara nyata dapat dilihat dalam aktivitasnya. Ia pernah menjadi Presiden Kongres Suriah pada 1920, menjadi delegasi Palestina-Suriah di Jenewa tahun 1921. Ia juga pernah menjadi anggota Komite Politik di Kairo tahun 1925, dan menghadiri Konferensi Islam di Mekah tahun 1926 dan di Yerusalem tahun 1931.
Pengaruh pemikiran Rasyid Ridha dan juga para pemikir lainnya berkembang ke berbagai penjuru dunia Islam, termasuk Indonesia. Ide-ide pembaharu yang dikumandangkan banyak mengilhami semangat pembaharuan di berbagai wilayah dunia Islam. Banyak kalangan ulama yang tertarik untuk membaca majalah Al-Manar dan mengembangkan ide yang diusungnya. Nama besarnya terus dikenang hingga beliau wafat dalam usia 70 tahun pada 22 agustus 1935.[9]
Daftar Pustaka
Nasution ,Harun, Islam Rasional, Bandung:Mizan,1995.
A.Athaillah,Rasyid Ridha,Konsep Teologi Rasional Dalam Tafsir al-Manar ,Jakarta
:Erlangga.
al-Rumi,Fahd,Manhaj al-Madrasah al-Aqliyah al-Haditsah fi al-Tafsir,Beirut :
Muassasah al-Risalah,1401 H/1981 m.
Muhammad ibn al-Salman,al-Syaikh Rasyid Ridha al-Salafi al-Mushlih, Riyadh :Jami-ah al
Imam Muhammad Ibn Su’ud al-Islamiyyah,1993.
[1] Harun Nasution,Islam
Rasional, (Bandung:Mizan,1995),h.106
[2] Ibid
[3]
A.Athaillah,Rasyid Ridha,Konsep Teologi
Rasional Dalam Tafsir al-Manar (Jakarta :Erlangga)
[4] Fahd al-Rumi,Manhaj
al-Madrasah al-Aqliyah al-Haditsah fi al-Tafsir,(Beirut : Muassasah
al-Risalah,1401 H/1981 m), h.172
[5] Ibid
[6] Muhammad ibn al-Salman,al-Syaikh Rasyid Ridha al-Salafi al-Mushlih (Riyadh :Jami-ah al Imam
Muhammad Ibn Su’ud al-Islamiyyah,1993 )
h.155
[7] Muhammad ibn al-Salman,op.cit,h.198
[8]
Harun Nasution,op.cit, h. 72
[9]
A.Athaillah,op.cit ,h.37
Komentar
Posting Komentar