TAFSIR II
SURAT AT TAUBAH : 84
( Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Tafsir II )
Dosen : Zainal Alim,Lc
Disusun oleh :
Dwi Niar Damayanti
09.13.00.16
Fakultas Tarbiyah
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama
2009/2010
QS.At
Taubah ayat 84
لاَ تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِّنْهُم مَّاتَ أَبَداً وَلاَ تَقُمْ عَلَىَ
قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُواْ بِاللّهِ وَرَسُولِهِ وَمَ
وَهُمْ فَاسِقُونَ
Kosakata
Menshalatkan
: تُصَلِّ
Seseorang : أَحَدٍ
Diantara mereka : مِّنْهُم
Jangan
berdiri : لاَ تَقُمْ
Kuburnya : قَبْرِهِ
Orang yang fasik : فَاسِقُونَ
Terjemah
Dan
janganlah kamu sekali-kali menshalatkan (jenazah) seorang yang mati di antara
mereka, dan janganlah kamu berdiri di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir
kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.(QS. 9:84)
Kandungan
Sesungguhnya makna shalat secara bahasa
berarti doa, dan secara syar’i makna shalat di sini adalah berdiri di hadapan
orang yang meninggal dunia untuk mendoakannya dengan tata cara tertentu. Maka
didahulukanlah makna syar’i, karena maksud dari mutakallim (orang yang bicara)
adalah apa yang dipahami oleh mukhathab (orang yang diajak bicara).[1]
Menurut al-Biqa’i ayat ini berhubungan dengan ayat 80,
"Kamu memohonkan ampun bagi mereka
atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja),dan karena itu janganlah
kamu sekali-kali menshalatkan (jenazah) ,memohonkan ampun untuk seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri di kuburnya untuk
mendo’akannya karena itu berarti engkau mengharapkan rahmat bagi yang
membangkang dan memusuhi Allah. Ini tidak wajar karena Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka
mati dalam keadaan fasik.baik lahir maupun batin,dan bagi semua orang yang
demikian itu halnya tidak wajar untuk dishalati atau dido’akan.
Allah ta’ala menyuruh Rosululloh SAW agar
melepaskan diri dari kaum munafik, jangan menyalatkan mereka dan berdiri diatas
kuburnya untuk memintakan ampun atau mendo’akannya,karena mereka telah kafir
kepada Allah dan rosulnya sedang mereka mati dalam keadaan demikian. Hukum ini
diberlakukan kepada semua orang yang diketahui kemunafikannya, walaupun sebab
turunnya ayat ini berkenaan dengan Abdullah bin Ubay bin Salul,dedengkot kaum
munafik.[2]
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan
sebuah hadis melalui Ibnu Umar r.a. yang menceritakan, bahwa sewaktu Abdullah
bin Ubay(tokoh kaum Munafikin )meninggal dunia, putranya yang merupakan sahabat
Nabi dan muslim yang baik mengharap kiranya Rasulullah saw. memberikan baju
gamis beliau untuk mengafani jenazah ayahnya. Nabi saw pun mengabulkannya, akan
tetapi anak Abdullah bin Ubay masih mempunyai permintaan lagi, yaitu meminta
supaya Rasulullah menyalati jenazah ayahnya. Maka Rasulullah saw. berdiri untuk
menyalatinya; tetapi tiba-tiba Umar bin Khattab menarik baju Rasulullah saw.
seraya berkata lirih, "Wahai Rasulullah! Apakah engkau akan menyalatkannya
juga, bukankah Rabbmu telah melarangmu untuk menyalatkan jenazah orang-orang
munafik?" Rasulullah saw. menjawab, "Sesungguhnya Allah hanya
menyuruhku untuk memilih," beliau selanjutnya membacakan firman-Nya, "Kamu
memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah
sama saja), kendati pun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh
kali." (Q.S. At-Taubah, 80)
Kemudian Rasulullah saw. menambahkan,
"Aku akan memohonkan ampun tujuh puluh kali lebih." Sahabat Umar bin
Khattab r.a. berkata, "Sesungguhnya dia (Abdullah bin Ubay) adalah orang
munafik." Akan tetapi Rasulullah saw. tetap melakukan salat jenazah atas
Abdullah bin Ubay demi memelihara perasaan anak Abdullah bin Ubay karena
anaknya kini telah masuk Islam dan menjadi salah satu di antara sahabat
Rasulullah saw. yang ikhlas.[3]
Akan tetapi setelah ayat 84 surah At-Taubah diturunkan, Rasulullah saw. tidak
lagi melakukan hal yang serupa karena larangannya sudah jelas. Maka Allah swt.
menurunkan firman-Nya, "Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan
(jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri di
kuburnya." (Q.S. At-Taubah 84). Sejak saat diturunkannya ayat di atas
Rasulullah saw. tidak lagi melakukan
salat jenazah atas orang-orang munafik.[4]
Firman-Nya
: لاَ
تَقُمْ عَلَىَ قَبْرِهِ janganlah kamu berdiri di kuburnya dipahami oleh banyak ulama antara lain
Thahir Ibnu ‘Asyur dan Muhammad Sayyid Thanthawi, dalam arti jangan berdiri
ketika ia dikuburkan dan jangan juga menziarahi kuburannya. Ini –tulis Ibnu
‘Asyur- karena berpartisipasi dalam penguburan seorang muslim adalah fardhu
kifayah,sebagai mana halnya shalat (jenazah ), maka perintah tidak shalat dan
tidak menghadiri penguburannya merupakan pernyataan tentang kekafiran yang mati
itu dan ketidakwajarannya untuk dihormati Nabi saw.
Dalam
hal ini pakar tafsir Sayyid Muhammad Rasyid Ridha menulis dalam tafsirnya al-Manar bahwa “Yang dimaksud dengan Jangan berdiri adalah jangan berdiri di
kuburnya pada saat yang bersangkutan dimakamkan dengan tujuan mendo’akannya
dengan
do’a at-tatsbit [5]sebagaimana
berdo’a dan berdiri terhadap orang-orang mukmin.”
Selanjutnya
Rasyid Ridha menambahkan bahwa Imam Bukhari meriwayatkan, Rosululloh saw.
pernah berdiri ketika jenazah seorang Yahudi berlalu dihadapan beliau,ketika
sahabat-sahabat bertanya – karena heran
melihat beliau berdiri – beliau bersabda ; “Bukankah dia juga manusia?” atas
dasar itu kita dapat berkata bahwa tidak ada halangan untuk hadir dalam
penguburan seorang kafir sekalipun,selama tidak mendo’akannya. Berkunjung ke
makam mereka pun diperbolehkan selama tujuannya bukan untuk mendo’akan.Fir’aun
yang ditnggelamkan Allah di laut merah pun dapat dikunjungi muminya karena dalam
QS.Yunus ayat 92 disebutkan bahwa Allah menyelamatkan badannya agar menjadi
tanda kekuasaan Allah dan pelajaran bag generasi sesudahnya. Tentu “tanda” itu
tidak dapat berfungsi dengan baik kecuali bila dilihat dengan pandangan mata
dan hati sehingga menghasilkan kesadaran akan kekuasaan Allah swt .
Perlu
dicatat bahawa pada prinsipnya seseorang dinilai muslim dan mempunyai
hak-haknya selama ia mengucapkan dua kalimat syahadat,walaupun ia tidak shalat
karena malas dan melakukan aneka kedurhakaan. Larangan Shalat diatas tertuju
kepada Abdullah bin Ubay yang telah dinilai kafir dan munafik oleh
Allah.
Sebagai
manusia biasa,kita tidak dapat menetapkan kemunafikan seseorang sebagaimana
penilaian Allah .Karena itu para ulama sepakat mengharamkan seseorang menshalatkan
/mendo’akan orang kafir yang telah meninggal dunia meskipun masih
termasuk kaum kerabat. Berdasarkan firman Allah SWT, "Tidaklah
sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah)
bagi orang-orang
musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah
jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni Neraka Jahanam.
Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain
hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka
tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim
berlepas diri daripadanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi
penyantun." [6]
Adapun
munafik,karena kemunafikan tidak selalu dapat dideteksi dan karena hukum
ditetapkan berdasarkan kenyataan lahiriah,maka bila sang munafik mengucapkan
dua kalimat syahadat,maka ia diperlakukan sebagai muslim.Adapun bagaimana
keadaannya yang sebenarnya hanya Allah Yang Mengetahui.[7]
[1] Asy
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin (rahimahullah)
[2] M.Abdul
Ghoffar,Tafsir Ibnu Katsir jilid 4 (Bogor:Pustaka
Imam asy- Syafi’I,2006 ) h.180-181
[3] Asbabun
Nuzul
[4]
Keterangan ini disebutkan di dalam hadits Umar,Anas ,Jabir ,dan lainnya.
[5] Do’a
yang mengandung permohonan agar yangmeninggal mendapat kemantapan jiwa dalam
menghadapi ujian dalam kubur atau menurut ulama lain mantap menjawab pertanyaan
malaikat Munkar ndan Nakir tentang Tuhan,nabi,agama dan kiblat.
[6] QS.At
Taubah ayat 113-114
[7] Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta :
Lentera hati,2006 ) h.671-674
Komentar
Posting Komentar