Makalah ADAB BERTETANGGA


( Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadist Tarbawi )
 Dosen    : MM.Balya Hulaimy


                                                                      Disusun oleh :
Dwi Niar Damayanti
09.13.00.16

 Fakultas Tarbiyah
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama
2009/2010



Kata Pengantar


       Kami ucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas segala limpahan rahmat, taufiq serta hidayahnya sehingga kita mampu melaksanakan segala aktivitas rutinitas dengan penuh kesabaran dan keikhlasan.
Selanjutkan makalah ini kami persembahkan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Hadist Tarbawi yang membahas tentang ”Adab Bertetangga” dan kami ucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Balya Hulaimy yang membina mata kuliah ini.
Semoga makalah ini menjadi suatu ilmu yang bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi kami pribadi. Dan hanya kepada Allah kami akan kembali.


                                                                                                  

Penyusun

PENDAHULUAN

      Agama Islam adalah agama fithroh yang memperhatikan hak-hak yang berhubungan dengan asasi seseorang atau masyarakat. Agama yang mengatur hubungan hamba dengan Rabbnya dan hubungan antar hamba dengan keserasian dan keselarasan yang sempurna. Di antara hubungan antar hamba yang diatur dan diperhatikan Islam adalah hubungan bertetangga, karena hubungan bertetangga termasuk hubungan kemasyarakatan yang penting yang dapat menghasilkan rasa saling cinta, kasih sayang dan persaudaraan antar mereka.
      Yang dinamakan tetangga bukan hanya mencakup seorang muslim dan seorang kafir, tetapi juga seorang ahli ibadah dan seorang fasik, teman dan musuh, orang asing dan orang senegeri, orang yang bisa memberi manfaat dan orang yang memberi madharat, orang dekat dan orang jauh serta yang paling dekat dengan rumahnya dan paling jauh.[1]

Bertangga adalah bagian dari kehidupan manusia yang tidak bisa ditolak. Sebab manusia memang tidak semata-mata makhluk individu, tetapi juga makhluk sosial. Satu sama lain harus bermitra dalam mencapai kebaikan. Islam memerintahkan segenap manusia untuk senantiasa berjamaah dan berlomba dalam berbuat kebaikan. Sebaliknya, Islam melarang manusia bersekutu dalam melakukan dosa dan permusuhan.
Setiap orang tentu ingin hidup rukun dan harmonis dengan tetangganya. Hanya orang-orang yang memiliki penyakit hati saja yang menolak suasana hubungan harmonis itu. Keharmonisan hubungan bertetangga sebenamya sangat amat penting, sebab kekuatan sendi-sendi sosial suatu masyarakat sangat ditentukan oleh keharmonisan hubungan antar anggotanya.
Sebaliknya, bila dalam suatu masyarakat terjadi disharmoni (ketidak harmonisan) hubungan di antara anggotanya, maka akan melemahkan sendi-sendi sosial masyarakat tersebut. Kendati demikian kita tidak pernah bisa memaksa orang lain untuk selalu bersikap baik, kecuati kita paksa diri kita sendtri untuk bersikap baik terhadap siapapun.
Alangkah beruntungnya jikalau kita hidup dan bertetangga dengan orang-orang yang baik. Walaupun rumah sempit, kalau tetangganya baik tentu akan terasa lapang. Dan alangkah ruginya, jika rumah kita dikelilingi oleh tetangga-tetangga yang busuk hati. Walaupun rumah lapang, niscaya akan terasa sempit.
Dr Yusuf Qardhawi menyebutkan, “seorang tetangga memiliki peran sentral dalam memelihara harta dan kehormatan warga sekitarnya”.



PEMBAHASAN
Definisi Tetangga                                         
Kata Al Jaar (tetangga) dalam bahasa Arab berarti orang yang bersebelahan denganmu. Ibnu Mandzur berkata: “الجِوَار , الْمُجَاوَرَة dan الْجَارُ bermakna orang yang bersebelahan denganmu. Bentuk pluralnya أَجْوَارٌ , جِيْرَةٌ dan جِيْرَانٌ”. Sedang secara istilah syar’i bermakna orang yang bersebelahan secara syar’i baik dia seorang muslim atau kafir, baik atau jahat, teman atau musuh, berbuat baik atau jelek, bermanfaat atau merugikan dan kerabat atau bukan.
Tetangga memiliki tingkatan, sebagiannya lebih tinggi dari sebagian yang lainnya, bertambah dan berkurang sesuai dengan kedekatan dan kejauhannya, kekerabatan, agama dan ketakwaannya serta yang sejenisnya.
Adapun batasannya masih diperselisihkan para ulama, di antara pendapat mereka adalah:       
1.      Batasan tetangga yang mu’tabar adalah 40 rumah dari semua arah.[2]
2.      sepuluh rumah dari semua arah.
3.      orang yang mendengar azan adalah tetangga.[3]
4.      tetangga adalah yang menempel dan bersebelahan saja.
5.      batasannya adalah mereka yang disatukan oleh satu masjid.
Yang lebih kuat, insya Allah, batasannya kembali kepada adat yang berlaku. Apa yang menurut adat adalah tetangga maka itulah tetangga. Wallahu A’lam.
Dengan demikian jelaslah tetangga rumah adalah bentuk yang paling jelas dari hakikat tetangga, akan tetapi pengertian tetangga tidak hanya terbatas pada hal itu saja bahkan lebih luas lagi. Karena dianggap tetangga juga tetangga di pertokoan, pasar, lahan pertanian, tempat belajar dan tempat-tempat yang memungkinkan terjadinya ketetanggaan. Demikian juga teman perjalanan karena mereka saling bertetanggaan baik tempat atau badan dan setiap mereka memiliki kewajiban menunaikan hak tetangganya.

Wasiat Islam Terhadap Tetangga
مَا زَالَ يُوصِينِي جِبْرِيلُ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
“Jibril senantiasa berwasiat kepadaku dengan tetangga sehingga aku menyangka tetangga tersebut akan mewarisinya.”[4]
Hadits yang agung ini menunjukkan urgensi dan kedudukan tetangga dalam Islam. Tetangga memiliki kedudukan arti penting dan hak-hak yang harus diperhatikan setiap muslim. Sehingga dengan demikian konsep Islam sebagai rahmat untuk alam semesta dapat direalisasikan dan dirasakan oleh setiap manusia.
Islam telah berwasiat untuk memuliakan tetangga dan menjaga hak-haknya, bahkan Allah menyambung hak tetangga dengan ibadah dan tauhid-Nya serta berbuat bakti kepada kedua orang tua, anak yatim dan kerabat, sebagaimana firman-Nya:
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَتُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللهَ لاَيُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. Annisaa’: 36)
Hal ini menunjukkan wasiat dengan tetangga tersebut meliputi penjagaan, berbuat baik kepadanya, tidak berbuat jahat dan mengganggunya, selalu bertanya tentang keadaannya dan memberikan kebaikan kepadanya. Ini semua adalah bentuk perhatian dan motivasi syariat dalam menjaga dan menunaikan hak-hak mereka. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan pelanggaran kehormatan tetangga sebagai salah satu dosa terbesar dalam sabdanya ketika ditanya:
Dosa apa yang terbesar di sisi Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Menjadikan sekutu tandingan Allah, padahal Allah yang menciptakanmu.” Saya (Ibnu Mas’ud) bertanya: “Kemudian apa?” beliau menjawab: “Kemudian membunuh anakmu karena khawatir dia makan bersamamu” lalu saya bertanya lagi: “Kemudian apa?” beliau menjawab: “Berzina dengan istri tetanggamu.” [5]

Hak-Hak Tetangga
Telah jelas tetangga memiliki hak yang besar dan kedudukan yang tinggi dalam islam. Hak-hak mereka kalau dirinci akan sangat banyak sekali, akan tetapi semuanya dapat dikembalikan kepada empat hak yaitu:
Pertama, berbuat baik (ihsan) kepada mereka.
Berbuat baik dalam segala sesuatu adalah karakteristik islam, demikian juga pada tetangga. Imam Al Marwazi meriwayatkan dari Al Hasan Al Bashriy pernyataan beliau: “Tidak mengganggu bukan termasuk berbuat baik kepada tetangga akan tetapi berbuat baik terhadap tetangga dengan sabar atas gangguannya.” Sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 “Sebaik-baiknya sahabat di sisi Allah adalah yang paling baik kepada sahabatnya. Dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah adalah yang paling baik pada tetangganya.” [6]
Di antara ihsan kepada tetangga adalah memuliakannya. Sikap ini menjadi salah satu tanda kesempurnaan iman seorang muslim.Di antara bentuk ihsan yang lainnya adalah ta’ziyah ketika mereka mendapat musibah, mengucapkan selamat ketika mendapat kebahagiaan, menjenguknya ketika sakit, memulai salam dan bermuka manis ketika bertemu dengannya dan membantu membimbingnya kepada hal-hal yang bermanfaat dunia akhirat serta memberi mereka hadiah. Aisyah radhiallahu ‘anha bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي جَارَيْنِ فَإِلَى أَيِّهِمَا أُهْدِي قَالَ إِلَى أَقْرَبِهِمَا مِنْكِ بَابًا
“Wahai Rasulullah saya memiliki dua tetangga lalu kepada siapa dari keduanya aku memberi hadiah? Beliau menjawab: kepada yang pintunya paling dekat kepadamu.” [7]
Kedua, sabar menghadapi gangguan tetangga.
Ini adalah hak kedua untuk tetangga yang berhubungan erat dengan yang pertama dan menjadi penyempurnanya. Hal ini dilakukan dengan memaafkan kesalahan dan perbuatan jelek mereka, khususnya kesalahan yang tidak disengaja atau sudah dia sesali kejadiannya. Hasan Al Bashri berkata: “Tidak mengganggu bukan termasuk berbuat baik kepada tetangga akan tetapi berbuat baik terhadap tetangga dengan sabar atas gangguannya.” Sebagian ulama berkata: “Kesempurnaan berbuat baik kepada tetangga ada pada empat hal, (1) senang dan bahagia dengan apa yang dimilikinya, (2) Tidak tamak untuk memiliki apa yang dimilikinya, (3) Mencegah gangguan darinya, (4) Bersabar dari gangguannya.”
Ketiga, menjaga dan memelihara tetangga.
Imam Ibnu Abi Jamroh berkata: “Menjaga tetangga termasuk kesempurnaan iman. Orang jahiliyah dahulu sangat menjaga hal ini dan melaksanakan wasiat berbuat baik ini dengan memberikan beraneka ragam kebaikan sesuai kemampuan; seperti hadiah, salam, muka manis ketika bertemu, membantu memenuhi kebutuhan mereka, menahan sebab-sebab yang mengganggu mereka dengan segala macamnya baik jasmani atau maknawi. Apalagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meniadakan iman dari orang yang selalu mengganggu tetangganya. Ini merupakan ungkapan tegas yang mengisyaratkan besarnya hak tetangga dan mengganggunya termasuk dosa besar.”
Keempat, tidak mengganggu tetangga.
Telah dijelaskan di atas akan kedudukan tetangga yang tinggi dan hak-haknya terjaga dalam islam. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan dengan keras upaya mengganggu tetangga, sebagaimana dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
 “Tidak demi Allah tidak beriman, tidak demi Allah tidak beriman, tidak demi Allah tidak beriman mereka bertanya: siapakah itu wahai Rasulullah beliau menjawab: orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatannya.” (HR. Bukhori)
Demikian juga dalam hadits yang lain beliau bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ
 “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah mengganggu tetangganya.”




PENUTUP
Demikianlah besarnya hak tetangga yang terkadang kurang kita perhatikan, padahal demikian besar dan pentingnya bagi kehidupan seorang muslim dalam bermasyarakat. Oleh karena itu marilah kita perbaiki kehidupan kita dengan takwa dan iman sehingga kita dapat mencapai kemuliaan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.






[1] Risalah ilal Jaar (Riyadh: Dar Ibnu Khuzaimah)
[2] Hal ini disampaikan oleh Aisyah radhiallahu ‘anha, Azzuhri dan Al Auzaa’i.
[3] Hal ini disampaikan oleh imam Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu.
[4] Al Bukhari dalam Shohih-nya, kitab Al Adab, Bab Al Washiyah Bil Jaar no. 6014
[5] HR. Bukhori no. 4389, 6354 dan 6978
[6] HR.Turmudzi no:1944
[7] Al Bukhari dalam Shohih-nya, kitab Al Adab, Bab Al Washiyah Bil Jaar no. 6014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIMENSI ALIRAN PEMIKIRAN ISLAM

“Sejarah Perkembangan Psikologi dan Aliran-alirannya