“Hak dan Kewajiban Pihak yang Berakad”


Oleh :
Nisfu Syawaluddin Tsani 
Pengertian Akad
Akad yang berasal dari kata al-‘Aqd jamaknya al-‘Uqud menurut bahasa mengandung arti al-Rabtb. al-Rabtb yang berarti, ikatan, mengikat. Selanjutnya akad menurut bahasa juga mengandung arti al-Rabthu wa al syaddu yakni ikatan yang bersifat indrawi (hissi) seperti mengikat sesuatu dengan tali atau ikatan yang bersifat ma’nawi seperti ikatan dalam jual beli. Hukum asal dalam transaksi adalah keridlaan kedua belah pihak yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan.
Dalam Ensiklopedi hukum Islam dikemukakan bahwa akad adalah pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikatan. Adapuin yang dimaksud dengan sesuai dengan kehendak syari’ah adalah bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak boleh apabila tidak sejalan dengan kehendak syarak. Sedangkan pencantuman kalimat “berpengaruh pada obyek perikatan” maksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak lain (yang menyatakan Kabul).

Hak dan Kewajiban Pihak yang Berakad

Dasar Terjadinya Akad
1.      Umum : segala sesuatu yang dapat diikat

Segala sesuatu yang dikerjakan atas keinginan sendiri, seperti wakaf, hibah, wasiat, dan lain sebagainya.

2.      Khusus : didasarkan pada kesepakatan (ijab dan qabul) yang sesuai syariah

Asas-asas Kontrak
            Dalam hokum Islam terdapat asas-asas dari suatu kontrak (perjanjian). Asas ini berpengaruh pada status akad. Ketika asas ini tidak terpenuhi, maka akan mengakibatkan batal atau tidak sahnya kontrak/perjanjian yang dibuat. Asas –asas tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Al-Hurriyah (Kebebasan)
Asas ini merupakan prinsip dasar hokum Islam dan merupakan prinsip dasar dari hokum perjanjian. Pihak-pihak yang melakukan akad mempunyai kebebasan untu membuat perjanjian (Freedom of making contract); baik dari segi dperjanjikan maupun menentukan syarat-syarat lain, termasuk menetapkan cara-cara penyelesaian bila terjadi sengketa. Kebebasan menentukan ersyaratan ini dibenarkan selama tidak bertentangan dengan syariah Islam
2.      Al-Musawah (Kesetaraan)
Asas ini member landasan bahwa kedua belah pihak yang melakukan perjanjian mempunyai kedudukan yang sama antara satu dan lainnya. Sehingga pada saat menentukan hak dan kewajiban masing-masing didasarkan pada asas kesetaraan
3.      Al-‘Adalah
Keadilan adalah salah satu sifat Tuhan, dan Al-Qur’an menekankan agar manusia menjadikannya sebagai ideal moral. Pelaksanaan asas ini dalam akad dimana para pihak yang melakukan akad dituntut untuk berlaku benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah mereka buat, dan memenuhi semua kewajibannya.
4.      Ar-Ridha (Kerelaan)
Segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar kerelaan antara masing-masing pihak, hal ini sebagai prasyarat bagi terwujudnya semua transaksi.
5.      Ash-Shidq (Kejujuran)
Kejujuran adalah satu nilai etika yang mendasar dalam Islam. Islam dengan tegas melarang kebohongan dan penipuan dalam bentuk apapun. Nilai kejujuran ini memberikan pengaruh pada pihak-pihak yang melakukan perjanjian untuk tidak berdusta, menipu dan melakukan pemalsuan.
6.      Al-Kitabah (Tertulis)
Akad harus dilakukan dengan melakukan kitabah (penulisan perjanjian), terutama transaksi dalam bentuk kredit. Disamping itu perlu ada pihak saksi (syahadah), rahn (gadai untuk kasus tertentu) dan prinsip tanggung jawab individu

Unsut-unsur Kontrak
1.      Ijab dan Qabul. Ijab qabul harus jelas, selaras dan tidak terhalang sesuatu yang menyebabkan kaburnya atau terganggunya kontrak. Ijab qabul bisa dilakukan dengan lisan, tulisan, isyarat, bahkan dengan perbuatan

2.      Pelaku Kontrak (‘aqidain). Pelaku kontrak disyaratkan telah berakal, baligh, bahkan ntuk transaksi ekonomi tertentu pelaku harus cerdas (rusyd) serta memiliki wewenang terhadap objek kontrak.

3.      Objek akad (ma’qud ‘alaih). Objek kontrak secara umum harus ada/terwujud ketika terjadinya kontrak, tidak dilarang hokum Islam dan dapat diserahkan ketika kontrak terjadi. Dikecualikan dalam hal jual beli salam, istishna’, dan ijarah, karena pertimbangan maslahat dan telah menjadi ‘urf.

4.      Akibat hokum kontrak (maudhu’ ‘aqd). Harus sesuai dengan prinsip-prinsip syariah

Hal-hal yang Merusak Kontrak
1.      Keterpaksaan. Bila hal ini dilakukan sama saja dengan memakan sesuatu dengan cara yang batil.
2.      Kekeliruan
3.      Penyamaran cacat objek
4.      Tidak adanya keseimbangan objek dan harga

Macam-macam kontrak
1.      Kontrak sah
Bila unsur-unsur kontrak (rukun dan syarat) terpenuhi, maka kontrak dinilai sah dan memiliki akibat hokum serta mengikat kedua belah pihak yang melakukannya
2.      Kontrak tidak sah
Kontrak yang tidak memenuhi unsur-unsur diatas dinilai tidak sah dan tidak memiliki akibat hokum, tidak mengikat serta dianggap tidak pernah terjadi.

Berakhirnya kontrak
1.      Terpenuhi isi kontrak dan berakhirnya masa berlaku akad, maka dianggap kontrak sudah selesai.
2.      Pemutusan kontrak (faskh)
a.       Karena adanya hak memilih (khiyar). Khiyar ini terdiri dari :
-          Majelis
-          Ta’yin
-          Syarath
-          ‘Aib
-          Ru’yah
b.      Kontrak dinilai rusak (fasad)
c.       Tidak terpenuhinya kontrak (‘adam at-tahfidz)
d.      Kesepakatan pembatalan karena penyesalan (iqalah)
e.       Kesepakatan kedua belah pihak (ittifaqi)
f.       Keputusan pengadilan (qadha’i)


Kesimpulan
            Apabila seseorang melakukan kerjasama apapun dengan orang lain, maka mereka akan menghadapi berbagai perbedaan pendapat dan perselisihan tentang keuangan. Oleh sebab itu, mutlak diperlukan jika masalah yang melibatkan uang, harta benda atau benda lain yang bernilai, dituliskan dalam bentuk kontrak atau perjanjian dan ditandatangani oleh kedua belah pihak yang terlibat dengan dihadapkan pada saksi yang dipilih. Kontrak ini bertujuan untuk menghindari terjadinya perselisihan yang tidak dikehendaki, Al-Qur’an menyebutkan masalah tersebut dalam surat Al-Baqarah ayat 282 :
            




“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya….”


Daftar Pustaka
          Hidayat, Mohammad., an Introduction to “The Sharia Economic”., Jakarta., Zikrul Hakim., 2010
          Usman, Rachmadi., Produk dan Akad Perbankan Syariah di Indonesia., Bandung., PT Citra Aditya Bakti., 2009

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah ADAB BERTETANGGA

DIMENSI ALIRAN PEMIKIRAN ISLAM

“Sejarah Perkembangan Psikologi dan Aliran-alirannya