hukum Maulid Nabi


1.      Pengertian dan Jenis Maulid Nabi

Maulid Nabi atau Maulud adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW, dimana di Negara Indonesia perayaannya jatuh pada setiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah. Kata maulid atau milad di ambil dari bahasa bahasa Arab yang artinya hari lahir. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad wafat. Secara subtansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Nabi Muhammad.


2.      Membaca Sayyidina ketika bershalawat atas nabi

Menambah lafazh "sayyid" sebelum menyebut nama Nabi adalah hal yang diperbolehkan karena kenyataannya beliau memang Sayyid al 'Alamin ; penghulu dan pimpinan seluruh makhluk. Jika Allah ta'ala dalam al Qur'an menyebut Nabi Yahya dengan : 


Padahal Nabi Muhammad lebih mulia daripada Nabi Yahya. Ini berarti mengatakan sayyid untuk Nabi Muhammad juga boleh, bukankah Rasulullah sendiri pernah mengatakan tentang dirinya :

" أنا سيد ولد ءادم يوم القيامة ولا فخر "  رواه الترمذي
Maknanya : "Saya adalah penghulu manusia di hari kiamat"  (H.R. at-Turmudzi)
Jadi boleh mengatakan " اللهم صل على سيدنا محمد " meskipun tidak pernah ada pada lafazh-lafazh shalawat yang diajarkan oleh Nabi (ash-Shalawat al Ma'tsurah). Karena menyusun dzikir tertentu; yang tidak ma'tsur boleh selama tidak bertentangan dengan yang ma'tsur.
Karena itulah al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al Bari, Juz. II, hlm. 287 ketika menjelaskan hadits Rifa'ah ibn Rafi', Rifa'ah mengatakan : Suatu hari kami sholat berjama'ah di belakang Nabi shallallahu 'alayhi wasallam, ketika beliau mengangkat kepalanya setelah ruku' beliau membaca : سمع الله لمن حمده , salah seorang makmum mengatakan:  " ربنا ولك الحمد حمدا كثيرا طيبا مباركا فيه " , maka ketika sudah selesai sholat Rasulullah bertanya : "Siapa tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu ?" , Orang yang mengatakan tersebut menjawab: Saya , lalu Rasulullah mengatakan :
" رأيت بضعة وثلاثين ملكا يبتدرونها أيهم يكتبها أول"  
Maknanya : "Aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya".
al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan : "Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan bolehnya menyusun dzikir di dalam sholat yang tidak ma'tsur selama tidak menyalahi yang ma'tsur.
Jadi boleh mengatakan " اللهم صل على سيدنا محمد "  dalam sholat sekalipun karena tambahan kata sayyidina ini tambahan yang sesuai dengan asal dan tidak bertentangan dengannya.

3.      Membaca shalawat nabi setelah adzan dengan suara yang keras

Di antara hal baru (bid'ah) yang menjadi keyakinan kelompok Wahabiyah yang dimunculkan pertama kali oleh Muhammad ibn Abdul Wahab adalah diharamkannya membaca shalawat atas Rasulullah bagi mu'adzdzin setelah adzan dengan suara keras. Masalah ini mereka anggap sebagai masalah yang sangat serius hingga salah satu di antara mereka ketika berada di masjid jami' Ad-Daqqaq di Syam dan mendengar seorang muadzdzin membaca shalawat kepada Rasul setelah adzan "Ash-Shalatu was-Salamu 'alayka ya Rasulallah" orang wahhabi itu dengan lantang berkata: "Ini haram, sama halnya dengan orang yang menikahi ibunya". Kejadian ini terjadi pada sekitar 40 tahunan yang silam. Keseriusan kelompok wahhabiyah dalam mengharamkan bacaan shalawat atas Rasul setelah adzan seakan-akan mereka mengingkari sebuah kekufuran atau bahkan mereka menganggap itu sebuah kekufuran, karena masalah ini muncul dari pimpinan mereka Muhammad ibn Abdul Wahhab yang pernah memerintahkan anak buahnya untuk membunuh seorang mu'adzdzin buta karena membaca shalawat atas Rasul setelah adzan.
Kita katakan kepada mereka: ada dua hadits tsabit dari Rasulullah yang menjadi dasar dibolehkannya membaca shalawat atas Rasul setelah adzan; salah satunya adalah hadits riwayat Muslim, Rasulullah bersabda: "Jika kalian mendengar suara adzan maka ucapkanlah sebagaimana diucapkannya kemudian bershalawatlah untukku". Yang kedua adalah hadits yang dikeluarkan oleh al Hafizh Abu ya'la dalam Musnadnya Rasulullah bersabda: "Barang siapa mendengar namaku disebutkan maka bershalawatlah untukku" dalam riwayat lain disebutkan: "Barang siapa mendengar namaku disebutkan di sisinya maka bacalah shalawat atasku", maka dengan demikian sanad dari hadits ini menjadi kuat dan tidak diperselisihkan lagi keshahihan hadits ini.

Dari dua hadits shahih di atas dapat disimpulkan baik Mu'adzdzin atau yang mendengarnya (mustami') kedua-duanya dianjurkan untuk membaca shalawat atas nabi dengan suara lirih atau keras. Jika kemudian dikatakan bukankan para mu'adzdzin di zaman Rasulullah tidak pernah membaca shalawat atas nabi dengan suara keras?!, maka kita katakan juga kepadanya: Rasulullah tidak pernah melarang umatnya untuk membaca shalawat atasnya kecuali dengan suara pelan. Tidak semua hal yang tidak dilakukan di masa Rasulullah hukumnya haram atau makruh, melainkan harus ada dalil yang mengharamkannya atau ada ijtihad ulama mujtahid seperti Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i Ahmad dan ulama-ulama lainnya yang telah mencapai kreteria seorang mujtahid yakni yang telah mencapai syarat-syarat seseorang menjadi mujtahid seperti Ibn Mundzir, Ibn Jarir dan lain-lain. Mengeraskan suara dalam membaca shalawat setelah adzan telah menjadi tradisi umat Islam dari masa ke masa karena itu para ulama hadits dan ulama fiqh menganggapnya sebagai bid'ah hasanah yaitu hal baru dalam Islam yang baik untuk dilakukan. Di antara ulama yang menganggapnya bid'ah hasanah adalah al Hafizh as-Sakhawi dalam kitabnya "Al-Badi" ia berkata:

"Para mu'adzdzin telah melakukan hal baru dengan membaca shlawat atas Rasulullah setelah adzan pada setiap masuk waktu shalat fardhu kecuali pada waktu shubuh dan jum'at hanya saja mereka mendahulukan bacaan shalawatnya dan waktu maghrib mereka tidak membacanya karena waktunya yang singkat. Hal ini terjadi pertama kali pada masa kepemimpinan Raja Shalahuddin al-Ayyubi dan ia memerintahkan hal tersebut".


Kemudian as-Sakhawi berkata:
"Masalah ini kemudian diperdebatkan di kalangan ulama apakah sunnah, makruh, bid'ah atau disyari'atkan. Pendapat yang mengatakan membaca shalawat atas Rasul setelah adzan adalah sunnah menggunakan dalil firman Allah surat al-Hajj ayat 77 yang maknanya: "Berbuatlah kalian akan kebaikan" dan membaca shalawat adalah di antara kebaikan yang agung yang bisa mendekatkan diri kepada Allah apalagi banyak hadits yang memberikan motifasi untuk bershalawat juga hadist yang menyebutkan keutamaan doa setelah adzan, sepertiga malam dan waktu yang mendekati shubuh. Dan pendapat yang benar dalam masalah ini adalah bid'ah hasanah, pelakunya akan mendapatkan pahala dengan ketulusan niat.


Pernyataan as-Sakhawi ini dinukil oleh shabib al Mawahib al Jalil al Khaththab al Maliki dan ia menyetujuinya.

As-Suyuthi dalam al Wasa'il fi Musamarah al Awa'il berkata: "Membaca shalawat dan salam atas Rasulullah setiap setelah adzan terjadi pertama kali di al Manarah pada masa raja al Manshur Haji ibn al Asyraf Sya'ban ibn Husain ibn an Nashir Muhammad ibn al Manshur Qalawuun atas perintah al Muhtasib Najmuddin ath-Thambadi pada bulan Sya'ban tahun 771 H. Setelah sebelumnya juga dikumandangkan pada masa raja Shalahuddin al Ayyubi pada setiap malam sebelum adzan shubuh di negara Mesir dan Syam dengan lafazh "as-Salamu 'ala Rasulillah". Hal itu berlanjut sampai pada tahun 767 kemudian bacaannya di tambah atas perintah al Muhtasib Shalahuddin al Barlasi menjadi: "Ash-Shalatu wa as-Salamu 'alayka ya Rasulullah" kemudian bacaan shalawat ini dikumandangkan pada setiap setelah adzan pada tahun 771 H."


5.      Perayaan maulid nabi saw


            Perayaan maulid Nabi Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam -seorang nabi yang diutus oleh Allah rahmatan lil 'alamin- dengan membaca sebagian ayat al-Qur'an dan menyebutkan sebagian sifat-sifat nabi yang mulia ini adalah perkara yang penuh berkah dan kebaikan yang agung, jika memang perayaan tersebut terhindar dari bid'ah-bid'ah sayyiah yang dicela oleh syara'.
Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam telah bersabda:

"مَنْ  سَنَّ  فيِ  اْلإِسْـلاَمِ  سُنَّةً  حَسَنـَةً  فَلَهُ  أَجْرُهَا وَأَجْرُ  مَنْ  عَمِلَ  بِهَا بّعْدَهُ  مِنْ  غَيْرِ  أَنْ يَنْقُصَ مِنْ  أُجُوْرِهِمْ  شَىْءٌ" رواه الإمام مسلم في صحيحه .
Maknanya: "Barang siapa yang memulai dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun". (H.R. Muslim dalam shahihnya).
Dari sinilah Imam Syafi'i  menyimpulkan:
"الْمُحْدَثَاتُ مِنَ  اْلأُمُوْرِ  ضَرْبَانِ  : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ  ِممَّا يُخَالـِفُ  كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ  اْلبِدْعَةُ  الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ  الْخَيْرِ  لاَ خِلاَفَ  فِيْهِ  لِوَاحِدٍ  مِنْ  هذا ، وَهَذِهِ  مُحْدَثَةٌ  غَيْرُ  مَذْمُوْمَةٍ "  رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ"
"Perkara-perkara yang baru (al muhdats) terbagi dua, Pertama : perkara baru yang bertentangan dengan kitab ,sunnah, atsar para sahabat dan ijma', ini adalah bid'ah dlalalah, kedua: perkara baru yang baik dan tidak bertentangan dengan salah satu dari hal-hal di atas, maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela" [1]
Karenanya Al Hafizh Ibnu Hajar menyatakan : "Mengadakan peringatan maulid Nabi adalah bid'ah hasanah".  Demikian pula dinyatakan oleh para ulama yang fatwanya bisa dipertanggungjawabkan .Dengan demikian fatwa yang menyatakan peringatan maulid adalah bid'ah muharramah (bid'ah yang haram) sama sekali tidak berdasar dan menyalahi fatwa para ulama Ahlussunnah, karenanya tidak boleh diikuti sebab fatwa ini bukan fatwa seorang mujtahid. Kita hanya akan mengikuti para ulama yang mu'tabar, selain itu bukankah hukum asal segala sesuatu adalah boleh selama tidak ada dalil yang mengharamkan. Agama Allah mudah tidaklah susah. Dan karena inilah para ulama di semua negara Islam selalu melaksanakan peringatan maulid Nabi di mana-mana, Semoga Allah senantiasa memberikan kebaikan dan melimpahkan keberkahan Nabi shallallahu 'alayhi wasallam kepada kita semua, amin.
6.      Ziarah ke makam Rasulullah saw

Sebagian orang yang mengaku dirinya sebagai ulama mengklaim bahwa melakukan perjalanan (safar) dengan tujuan ziarah ke makam nabi atau wali adalah maksiat yang haram dilakukan. Pernyataan ini sama sekali tidak berdasar. Bahkan bertentangan dengan ijma' (kesepakatan para ulama) dari kalangan madzhab yang empat dan juga ulama selain madzhab empat. Yakni ulama sejati yang dapat dipercaya fatwa-fatwa mereka.

Ziarah ke makam nabi hukumnya adalah sunnah. Baik bagi orang yang berdomisili di Madinah maupun bagi mereka yang tinggal jauh dari Madinah. Tegasnya, menempuh perjalanan dari luar kota Madinah ke Madinah dengan niat hanya berziarah ke makam beliau adalah sunnah dan sudah barang tentu pelakunya mendapat pahala dari Allah 'azza wajalla.

Banyak hadits dan atsar yang bisa dijadikan dalil atas hal ini. Ibn Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda:

"مَنْ جَاءَنِيْ زائِرًا لاَ يَهُمُّهُ إلاَّ زِيَارَتِيْ كَانَ حَقًّا عَلَيَّ أنْ أكُوْنَ لَهُ شَفِيْعًا" (رَوَاهُ الطَّبَرَانِي)

Artinya: "Barangsiapa mendatangiku untuk berziarah, tidak ada tujuan lain kecuali ziarah (ke makam) ku maka sungguh menjadi hak bagiku untuk memberikan syafa'at kepadanya".[2]

Al-Hakim meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
" لَيَهْبَطَنَّ عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ حَكَمًا عَدْلاً وَإِمَامًا مُقْسِطًا وَلَيَسْلُكَنَّ فَجًّا حَاجًّا أوْ مُعْتَمِرًا أوْ بِنِيَّتِهِمَا وَلَيَأْتِيَنَّ قَبْرِيْ حَتَّى يُسَلِّمَ عَلَيَّ وَلأرُدَنَّ عَلَيْه "  رَوَاهُ الحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ الذَّهَبِيّ

Maknanya: “Sungguh, Isa ibn Maryam akan turun menjadi penguasa dan Imam yang adil, dia akan menempuh perjalanan untuk pergi haji atau umrah atau dengan niat keduanya dan sungguh, dia akan mendatangi makamku sehingga berucap salam kepadaku dan aku pasti akan menjawabnya" (diriwayatkan oleh al Hakim dalam al Mustadrak dan dishahihkannya serta disetujui oleh adz-Dzahabi).

Kemudian dituturkan bahwa Abdullah, putra Ahmad ibn Hanbal bertanya kepadanya (kepada ayahnya, Imam Ahmad) tentang orang yang menyentuh mimbar nabi dengan niat agar mendapatkan berkah dengan menyentuh dan menciumnya, dan melakukan hal yang sama atau semacamnya terhadap makam Rasulullah dengan niat mendekatkan diri kepada Allah 'azza wajalla.  Imam Ahmad menjawab: "Tidak mengapa (la ba'sa bi dzalik)".[3]

Lebih dari itu, para ulama dalam kitab-kitab karangan mereka telah menjelaskan bahwa ziarah ke makam Rasulullah hukumnya adalah sunnah dan selalu disebutkan dalam rangkaian manasik haji.[4] Dan hukum kesunnahan itu adalah ijma'. Di antaranya adalah al Hafizh adl Dliya' al Maqdisi[5], beliau menuturkan beberapa hadits sebagai dalil penguat hal itu, di antaranya:
       "مَنْ حَجَّ فَزَارَ قَبْرِيْ بَعْدَ وَفَاتِي فَكَأنَّمَا زَارَنِي فِي حَيَاتِي"

Maknanya: “Barangsiapa pergi haji kemudian ziarah ke makamku setelah aku wafat maka seakan-akan ia telah mengunjungiku sewaktu aku masih hidup".
penting untuk diketahui bahwa ziarah ke makam Rasulullah atau ke makam orang-orang shaleh lainnya bukan berarti menyembah mereka. Mereka hanyalah wasilah (perantara) kita kepada Allah dalam berdo'a. Karenanya, al Imam Syamsuddin Ibn al Jazary —seorang imam besar dalam hadits dan ilmu qira'at—menyatakan :
"مِنْ مَوَاضِع إجَابَةِ الدُّعَاءِ قُبُوْرُ الصَّالِحِيْنَ"

Maknanya: “Termasuk tempat yang sering menyebabkan do'a terkabul adalah kuburan orang-orang yang shaleh". (al Hishn al Hashin dan 'Uddah al Hishn al Hashin).
Kalau ada orang yang berziarah ke suatu makam dengan niat menyembah orang yang ada dalam makam atau dengan membawa keyakinan bahwa si mayit bisa mendatangkan manfaat atau menolak bahaya dengan sendirinya tanpa seizin Allah, tentu saja, dia adalah musyrik.






[1] diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Bayhaqi dalam kitabnya "Manaqib asy-Syafi'i" juz I h. 469
[2] H.R. ath-Thabarani dan dishahihkan oleh al Hafidz Sa'id ibn as-Sakan dalam as-Sunan as-Shihah; kitab yang beliau karang khusus memuat hadits-hadits yang disepakati kesahihannya, seperti halnya Shahih al Bukhari dan Shahih Muslim, lihat: Ithaf as-Sadah al Muttaqin karya al Hafizh az-Zabidi, juz IV, hlm. 416
[3] Dalam kitab al Ilal wa Ma'rifat ar-Rijal, juz II, hlm. 35
[4] lihat kitab-kitab fiqh tentang manasik haji seperti al Idlah karya an-Nawawi, at-Tadzkirah karya Ibn 'Aqil al Hanbali dan lain-lain
[5] dalam Fadlail al A'mal, hlm. 108

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah ADAB BERTETANGGA

DIMENSI ALIRAN PEMIKIRAN ISLAM

“Sejarah Perkembangan Psikologi dan Aliran-alirannya