"SARINAH" : Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia



A. Pendahuluan



Siapa itu Sarinah? Begitu pentingkah ia hingga namanya diabadikan dalam sebuah buku karya Bung Karno ? Ya,Sarinah adalah pengasuh Bung Karno saat masih anak-anak.Dari dialah Sukarno menerima banyak rasa cinta dan rasa kasih. Dari Sarinah pula Sukarno mendapat banyak pelajaran mencintai “orang kecil” mencintai rakyat jelata. Sarinah sendiri “orang kecil”, tetapi budinya sangat besar.Ia menjadi bagian dari keluarga Sukarno. Ia tidak kawin. Ia tinggal, makan, dan bekerja di rumah keluarga Bung Karno. Sekalipun begitu, Sarinah tidak membayar, tidak pula mendapatkan upah.Ajarannya itu bergulir setiap pagi,ketika Sarinah memasak ,Sukarno selalu duduk di samping Sarinah. Pada saat-saat seperti itulah Sarinah berpidato, “Karno, pertama engkau harus mencintai ibumu. Kemudian, kamu harus mencintai rakyat jelata. Engkau harus mencintai manusia umumnya.”Pidato itu yang dicekokkan Sarinah setiap pagi. Pidato Sarinah itulah yang mengisi otak dan hati Bung Karno, sebelum makanan mengisi perutnya.
Buku ini sebagian besar merupakan kumpulan materi yang disampaikan Bung Karno ketika mengadakan “kursus wanita” di Yogyakarta, sekitar tahun 1948 – 1949 sesudah beliau pindah kediaman dari Jl. Pegangsaan Timur ke Istana Negara Yogyakarta.
Pada masa itu, Bung Karno begitu prihatin, karena ranah pergerakan belum banyak menyentuh aspek wanita. Padahal, Bung Karno begitu yakin, kita tidak dapat menyusun negara dan tidak dapat menyusun masyarakat, jika (di antara banyak soal) kita tidak mengerti soal wanita. Buku Sarinah memaparkan wawasan Sukarno yang teramat luas dan mendalam sebagai bahan argumen tingkat ‘tinggi’ dalam meyakinkan perlunya peran perempuan dalam ‘perjuangan’ negara.”Soal perempuan bukanlah soal buat perempuan saja, tetapi soal masyarakat, soal perempuan dan laki-laki. Dan sungguh soal masyarakat dan Negara yang amat penting.”
 [Sarinah, hlm. 15]



B. Pembahasan 

Sejak awal, Sukarno rupanya sadar betul betapa fatalnya kedudukan perempuan Indonesia bila dianggap ‘tidak ada’ peran lain selain peran pendamping laki-laki. Ia juga resah karena soal perempuan, saat itu belum pernah dipelajari dengan mendalam oleh pergerakan di Indonesia. keresahan ini  muncul Bung Karno kerap bertamu ke rumah penduduk tanpa pemberitahuan sebelumnya. Seringkali hanya tuan rumah lah yang menerima kunjungan Sukarno, sementara nyonya rumah tak ikut mendampingi. Kalau toh ditanya soal ini, tuan rumah kerap berdalih, ..sayang seribu sayang, ia kebetulan tidak ada di rumah. Menengok bibinya yang sedang sakit...[1]
Kejadian serupa itu dialami Bung Karno beberapa kali, hingga suatu saat ia menangkap bayangan seorang perempuan dari balik tabir yang tergantung di pintu pemilik rumah. Sejak saat itu, benak sang proklamator dihantui ketakutan, ..bilakah semua Sarinah-Sarinah mendapat kemerdekaan? Meski kemudian ia mempertanyakan kembali pertanyaannya itu, ..tetapi, kemerdekaan yang bagaimana? Kemerdekaan a la Kartini? Kemerdekaan a la Chalidah Hanum? Kemerdekaan a la Kollontay?[2]
I.                   Matriarchat vs Patriarchat
Di masa awal peradaban, banyak lelaki pergi berburu sementara perempuan tinggal di tempat. Dari nalurinya untuk melindungi diri serta anak-anaknya, sang perempuan mulai membuat rumah pertama kalinya. Perempuan juga yang pertama mulai menanam dan membuat peralatan rumah tangga.Inilah awal Matriarchat, Anak menjadi milik sang ibu. Hal ini dijelaskan karena tidak dapat diketahui pasti siapakah ayah daripada si anak. Posisi lelaki dan somah sama seperti lelaki dan sarang di keluarga lebah. Perempuan juga menjadi produsen yang terpenting, yang menentukan selamat atau tidak selamatnya masyarakat. Perempuan kemudian yang membuat masyarakat nomad menjadi masyarakat yang berdiam.

Keadaan itu bergeser ketika lelaki ikut menetap dan tidak lagi ikut berburu. Saat itulah terjadi perpindahan aset, ternak dari perempuan ke lelaki. Ditengarai perpindahan aset tersebut tidak terjadi begitu saja, tapi ada perlawanan dari perempuan terhadap lelaki. Peralihan aset inilah yang menjadi asal muasal lahirnya budaya Patriarchat. Engels menjelaskan bahwa kemudian lelaki membutuhkan pewaris. Lelaki sudah bekerja keras untuk memperbanyak ataupun melestarikan kekayaan mereka. Mereka membutuhkan kepastian bahwa kerja keras mereka tidak sia-sia. Karena itu kemudian aturan bahwa hanya ada satu perempuan dan banyak lelaki menjadi berbalik. Kali ini perempuan hanya bisa memiliki satu lelaki. Sementara lelaki bisa memiliki banyak perempuan. Engels mengatakan bahwa perpindahan hukum peribuan pada perbapaan merupakan kekalahan perempuan yang paling hebat dalam sejarah kemanusiaan.
Perempuan  menjadi mahluk kelas dua, dipinggirkan oleh jenis kelamin lawannya. Bahkan setelah menikah dan mempunyai anak, dia menjadi mahluk kelas tiga. Harus mengalah pada suami dan anak-anaknya. Yang paling parah ketika posisinya sudah tidak lagi dianggap sebagai suatu mahluk hidup tapi sebagai benda mati. Dalam beberapa budaya, terjadi pelimpahan istri pada keluarga suami bila sang suami meninggal. Lelaki merasa memiliki perempuan karena lelaki telah membeli perempuan melalui mas kawin yang harus dibayar saat perkawinan. Terjadi perubahan paradigma perempuan. Sexes/jenis kelamin mereka menjadi fungsi ekonomi. Mereka mulai memoles kulitnya dengan semua jenis ramuan kecantikan, berdandan, merapikan diri, dipingit guna berdaya jual bagi para pembelinya.
Pada bangsa Baskia di Eropa dan Abipon di Amerika Selatan, bahkan ada kebudayaan yang disebut couvade. Pada ritual couvade, perempuan melahirkan sendirian. Setelah proses melahirkan selesai, sang perempuan harus bergegas keluar dan mengerjakan tugas sehari-harinya seolah tidak habis beranak. Gantinya, sang suami yang kemudian berbaring di ranjang dan berteriak-teriak seolah kesakitan dan semua orang pun datang berbondong-bondong menghibur dan berusaha meredakan kesakitannya. Kodrat perempuan untuk melahirkan bahkan dirampas dalam komunitas ini. Kemampuan perempuan untuk melahirkan tidak diakui oleh mereka. Komunitas tersebut hanya menganggap bahwa rahim perempuan merupakan tempat penitipan benih sang lelaki.

Terjadi lagi perubahan posisi perempuan saat terjadi revolusi industri. Perempuan mulai keluar dari rumah dikarenakan tuntutan ekonomi saat itu dan juga karena para lelaki banyak pergi berperang. Saat itu menurut ada tiga golongan perempuan,- perempuan sundal, perempuan kelas atas dan kuda beban. Havelock Ellis menyebut abad 19, awal Revolusi Industri merupakan abadnya sundal.Perempuan sundal muncul karena ada segolongan perempuan yang tidak memiliki kesempatan bekerja sebagai buruh. Kemudian perempuan kelas atas atau yang disebut para ridder menjadi perempuan pengangguran. Mereka memiliki banyak pembantu di sekelilingnya, sehingga mereka tidak perlu melakukan apapun. Mereka juga belum boleh bekerja karena dengan bekerja, mereka dianggap turun kelas/derajat. Jadilah mereka sekumpulan perempuan yang akhirnya gemar berkumpul dan bertukar cerita untuk membunuh waktu.Ada lagi satu golongan perempuan yang tersisa yaitu golongan perempuan kuda beban. Henriette. R. Holst menjelaskan bahwa perempuan tampak seolah kuda yang harus bekerja di rumah karena cintanya pada keluarga sekaligus juga bekerja di tempat kerja.
Ulasan diatas merupakan imbas dari patriarchat..

Soekarno berpendapat bahwa hukum peribuan adalah hukum primitif, hukum suatu rakyat yang belum tinggi tingkat kemajuannya melihat bukti-bukti sisa hukum peribuan di daerah primitif di negerinya sendiri. Soekarno juga berpendapat bahwa hukum yang masih primitif itu tidak mungkin baik untuk masyarakat modern dan pantas diganti dengan hukum yang lebih sesuai dengan masyarakat modern. Sementara hukum perbapaan merupakan suatu hukum kemajuan. Dengan hukum perbapaan dapatlah berkembang individualisme yang perlu untuk berkembangnya masyarakat. Marx menamakan perpindahan dari hukum peribuan ke hukum perbapaan itu sebagai suatu “perpindahan yang paling sesuai dengan kodrat alam”, dan Engels menamakannya sebagai “kemajuan dalam sejarah yang besar”. Hanya sayang sekali, Soekarno sepakat bahwa dalam kemajuannya hukum ini dibarengi dengan perbudakan, perbudakan satu pihak guna menegakkan pertuanan pihak lain.

II.                Perempuan bergerak
Keadaan perempuan yang ditindas oleh pihak lelaki itu akhirnya membangunkan dan membangkitkan satu pergerakan yang berusaha meniadakan segala penindasan itu. Namun, pergerakan ini bertingkat-tingkat alias berevolusi.Gerakan ini dibagi menjadi tiga tingkatan :
1.      Om den man te bekoren (hanya untuk memikat laki-laki)[3],tingkatan perserikatan yang anggotanya dari kalangan kaum perempuan kelas atas. Tujuannya untuk memperhatikan urusan rumah tangga,- anak-anak, pakaian, dapur serta ilmu kecantikan dan praktiknya.Tokoh yang paling terkenal adalah Madame de Maintenon di Prancis dan A.H. Francke di Jerman.

2.       Feminisme, tingkatan yang dengan sadar menuntut persamaan hak, persamaan derajat dengan kaum lelaki.Tokoh-tokohnya yaitu Mercy O. Warren, A. Smith Adams, Madame Roland, Olympe de Gouges, Rose Lacombe dsb. yang menuntut supaya perempuan diberi hak-hak warga negara. Perjuangan ini, terutama Olympe de Gouges menuntut pengorbanan, dari mulai dikatakan sundal, perempuan yang telah melenceng keluar dari relnya, digambarkan karikatur yang tidak jelas jenis kelaminnya. Sampai akhirnya, kepala Olympe de Gouges ditebas Guilottine dalam keadaan tersenyum karena dituduh anti revolusi.[4]
Walaupun pada mulanya aksi perempuan di perbagai negeri berjalan sendiri, di tahun 1893, berdirilah Dewan Perempuan Internasional yang memiliki 50 cabang di berbagai negara. Lebih radikal lagi dari Dewan Perempuan Internasional, yaitu suatu badan lain yang bernama ‘Alliance for Woman Suffrage and Equal Citizenship’ yang menuntut persamaan hak warga negara anggotanya adalah perempuan kelas atas dengan tuntutan perempuan kelas mereka. Menurut ideologi mereka, masyarakat hanya memiliki satu cacat, yaitu bahwa kaum lelaki (tentunya kaum lelaki mereka) tidak memperlakukan mereka secara adil. Bagi perempuan kelas bawah, pergerakan feminisme itu tentu tidak memuaskan. Bagi perempuan kelas bawah, feminisme itu tidak memberi pemecahan soal malahan sering menjadi lawan dalam perjuangannya. Perempuan kelas bawah mencari kemerdekaan, bukan saja kemerdekaan politik tapi juga ekonomi dan sosial.[5]

3.       Pergerakan perempuan yang didalam aksi sosialis hendak mendatangkan satu dunia baru, yang di dalamnya terdapat perempuan dan lelaki yang sama-sama mendapatkan kebahagiaan, Satu Dunia Baru tempat perempuan bukan saja sama haknya dengan lelaki tapi juga tidak menderita oleh karena di dalam dunia itu ada sintesis antara pekerjaan masyarakat dan pekerjaan rumah tangga. Karena itu, dalam aksinya sendiri, tidak bisa dikatakan pergerakan perempuan tingkat ketiga, karena kedua sekse bersama-sama berjuang. Seperti yang diuraikan oleh Lily Braun, seorang perempuan sosialis adalah penghargaan kerja pada kaum perempuan kelas atas yang kurang kerja dan pada kaum perempuan proletar yang diperbudak oleh kerja. Ada tiga jalan dalam sosialisme yaitu, aksi serikat pekerja, aksi kooperasi dan aksi partai politik.[6] Awalnya kehadiran perempuan di ketiga jalan ini sempat diragukan oleh pra pria. Tetapi kelamaan datang pula perubahan dalam kekolotan kaum lelaki.Tokoh yang terkenal adalah August Bebel yang berpendapat bahwa soal perempuan bertalian erat dengan soal sosial. perempuan tidak mungkin merdeka, sebelum ia ekonomis merdeka. Dan hal ini hanya bisa terjadi dalam hidup yang sosialistis. Pergerakan ini juga terus menuntut hak pemilihan seperti pendahulunya. Bedanya, kaum feminis menganggap hak perwakilan sebagai tujuan terakhir, sedangkan perempuan sosialis menganggapnya sebagai salah satu alat semata-mata dalam perjuangan menuju tatanan hidup baru yang berkesejahteraan sosial. Salah satu tokoh lain adalah Clara Zetkin yang menulis majalah ‘Die Gleicheit’.[7] Dia membentuk organisasi perempuan sosialis dan mengadakan kongresnya yang pertama.  
Benar ada persamaan antara aliran kedua dan ketiga. Tetapi perbedaannya juga begitu besar sehingga dua gerakan ini tak mungkin bersatu menjadi gelombang yang tak terpisah. Posisi pergerakan ketiga itu tertera jelas dari hasil Konferensi Perempuan Internasional pertama di Stuttgart bentukan dari Clara Zetkin. Kalimatnya adalah sbb: ‘Perempuan-perempuan sosialis harus menjalankan perjuangan untuk hak ini (hak pemilihan) tidak bersama-sama dengan perempuan-perempuan borjuis tapi bersama dengan partai-partai sosialis. Pergerakan feminis nyata tidak mampu memerdekakan perempuan sama sekali. Tuntutan persamaan hak semata nyata masih meninggalkan satu soal yang belum selesai;- bagaimanakah menghilangkan pertentangan antara pekerjaan masyarakat dan panggilan jiwa sebagai istri dan ibu? Mana yang harus dilebihberatkan? pekerjaannya sebagai seorang perempuan atau bersuamikah?
Kaum feminis kemudian tampak lari dari kenyataan. Mereka meminta hak untuk pekerjaan, namun toh ketika bekerja, pekerjaan itu akan dilepaskan lagi karena ia akan memilih mengurus anaknya. Karena itu feminisme memang tidak mampu memecahkan soal.
Oleh karena itu, dikalangan feminis sendiri kemudian lahir kaum neo-feminisme. Mereka bermaksud mengoreksi feminisme, namun koreksi mereka malah makin salah. Sebab diterangkan bahwa pokok neo-feminisme ialah pengakuan lebih dahulu bahwa tujuan hidup perempuan ialah (bagaimanapun juga) suami dan anak.Maka neo feminis bermaksud mendidik dan mempersiapkan perempuan agar sempurna dapat mengerjakan kewajibannya sebagai istri dan ibu. Neo feminisme tidak mengutamakan lagi pekerjaan dan persamaan hak. Gerakan ini kelihatan seperti gerakan tingkat kesatu. Pergerakan perempuan tampak seperti terlempar kembali ke duaratus tahun yang silam. Hal ini merupakan suatu pertanda ketidakmampuan gerakan untuk memecahkan persoalan.

Apa yang menyulitkan Sarinah untuk masuk secara bahagia ke dalam pekerjaan masyarakat (yang akhirnya toh ia masuki juga karena tuntutan perut atau hasrat beraktualisasi)? Sebabnya adalah bahwa rumah tangga terlalu bersifat perusahaan sendiri. Pekerjaan untuk keperluan rumah tangga itu terlalu ketat dalam lingkungan rumah. Inilah yang merantai Sarinah pada kewajiban tetek bengek dalam rumah tangga. Inilah yang menyebabkan pertentangan, retak antara cinta keibuan dan pekerjaan masyarakat. Pertentangan ini dapat kita lenyapkan bila sifat rumah tangga yang terlalu bersifat perusahaan sendiri itu dioperkan sebagian besar pada umum, kepada masyarakat atau dalam tanggungan kolektivitas.

Bung Karno mengkritik contoh lain yang lebih politis yaitu Alliance for Women Sufferage and Equal Citizenship, yang pertama kali berkongres di Berlin pada tahun 1904, yang menurutnya hanya menuntut hak persamaan dalam pekerjaan dan pemilihan umum, namun melewatkan soal ketidak-adilan sosial, yaitu soal nasib perempuan miskin.[8]Sukarno mengungkapkan bagi perempuan jelata, pergerakan feminisme itu tidak memuaskan karena tidak memberi solusi. Mereka, wanita rakyat jelata itu mencari kemerdekaan, bukan saja kemerdekaan politik, tetapi juga ekonomi.[9] Jangan heran kalau Bung Karno mengerti mengapa perempuan jelata menolak pergerakan feminis. Intinya, Bung Karno berargumen, di tahap awal, perjuangan perempuan hanya berkepentingan mencari persamaan hak saja dengan kaum lelaki, dan perjuangan perempuan pun jadinya ‘sekedar’ melawan laki-laki. Cara itu, menurut Sukarno, tidak mempertimbangkan susunan masyarakat, maupun membandingkan strata sosial di dalam masyarakat, apalagi mengejar keadilan sosial.

III.             Sarinah : Sosok Perempuan Pejuang Indonesia
Dari kutipan itu lalu dikembangkan bahwa ternyata pemikiran bahwa perempuan termasuk perempuan yang rendah harus dihilangkan karena perempuan pun manusia yang bisa berkarya. Dan dirasakan peran perempuan terutama dalam menyokong kehidupan keluarga pada khususnya dan masyarakat atau negara pada umumnya telah dirasakan besar peranannya. Lalu beliau mengemukakan pemikirannya tentang tingkatan pergerakan perempuan yang beliau sadur dari pemikirannya tentang perkembangan negara yang ideal menurutnya.
Dari ketiga tingkatan pergerakan ini Soekarno juga ingin mengajak seluruh perempuan Indonesia, khususnya pada masa dimana Indonesia baru saja menghirup udara kemerdekaan, untuk bersama-sama bahu membahu membangun dan mengisi kemerdekaan dengan karya-karya terbaik dari laki-laki dan perempuan sebagai anak negeri. Dan juga menggugah kesadaran para perempuan Indonesia yang pada saat itu telah memasuki babak pengisian kemerdekaan.
Telah dijelaskan diatas bahwa perempuan akan mencapai suatu kemerdekaan apabila mereka mau bersama-sama melakukan suatu geraka revolusioner menuju suatu tatanan mayarakat sosialis yang bertujuan mencapai suatu keadaan kesejahteraan sosial. Masyarakat sosialis ditandai oleh beberapa keadaan, menurut Soekarno, diantaranya, adanya pabrik yang kolektif, adanya industrialisme yang kolektif, adanya produksi yang kolektif, adanya pendidikan yang kolektif, sosialisme berarti adanya banyak automobil, adanya radio, adanya telepon, adanya telegrap, adanya kereta api, adanya listrik, adanya buku-buku,adanya ilmu tabib, adanya sekolah rendah, adanya sekolah tinggi, adanya traktor, adanya irigasi dll.
 Kaum perempuan harus menyadari keberadaannya, dan tidak ada yang dapat membantu perempuan jika bukan datang dari dalam diri mereka sendiri. Kesadaran harus muncul dari dalam diri kaum perempuan sehingga mereka sadar akan kewajiban dan hak untuk bebas. Dan dengan munculnya kesadaran akan eksistensi perempuan dalam pembangunan dan perjuangan maka secara bahu membahu bersama laki-laki bekerja sama dalam emwujudkan suatu persatuan nasional guna mencapai sutau masyarakat sosialis yang utuh.



C. Kesimpulan 

Dari penjelasan diatas maka dapat dilihat bahwa ide pokok dari penulisan buku Sarinah ini, soekarno ingin mengangkat peran perempuan  yang pada awalnya kurang begitu berperan, dan ini dibuktikan dengan perkembangan sejarah dan keadaan perempuan diberbagai negara. Disebutnya pemikiran Henriette Roland Holst yang menguraikan dilema perempuan saat harus memilih peran sebagai ibu atau sebagai pekerja. Bung Karno juga lantang menentang pergerakan feminisme Eropa yang menurutnya, mau menyamaratakan saja perempuan dengan laki-laki (h.11).  Ia mendukung gagasan Ki Hadjar Dewantara yang mengingatkan agar bangsa Indonesia tidak tergesa-gesa meniru cara moderen atau cara Eropa, meski jangan pula terikat oleh rasa konservatif, melainkan mencocokkan segala hal sesuai dengan kodratnya.[10]
Lalu Soekarno juga mengemukakan adanya tiga tipe pergerakan yang disangkutkan dengan pergerakan perempuan, dari ketiga tingkat pergerakan ini Soekarno mengemukakan bahwa tingkat pergerakan sosialis-lah yang paling utama atau yang paling baik karena itu merupakan suatu cita-cita yang harus dicapai, karena menurutnya didalam masyarakat sosialis itulah perempuan dapat bereksistensi secara bebas dan merdeka. Maka dari itu seperti yang diungkapkan oleh Kierkegaard bahwa perempuan harus berani untuk menjalani proses “menjadi” atau mewujudkan cita-citanya itu agar menjadi kenyataan.
Tak lupa, Sukarno juga meninjau posisi perempuan menurut ajaran agama Islam. Saya beragama Islam, saya cinta Islam, tetapi saya bukan ahli fiqih. Bolehlah saya katakan di sini, di dalam masyarakat Islam pun masih ada soal perempuan. Kesan yang saya dapat, sama dengan kesan Frances Woodsmall sesudah beliau mempelajari posisi perempuan di dalam Islam, yakni, soal perempuan adalah justru bagian yang “most debated”[11]
Ucapan Soekarno yang perlu menjadi perenungan kaum perempuan Indonesai saat ini adalah :
” Perempuan Indonesia, kewajibanmu telah terang! Sekarang ikutlah serta mutlak dalam usaha menyelamatkan Republik, dan nanti jika Republik telah selamat, ikutlah serta mutlak dalam usaha menyusun Negara Nasional. Jangan ketinggalan didalam revolusi Nasional ini dari awal sampai akhirnya, dan jangan ketinggalan pula nanti didalam usaha menyusun masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial. Didalam masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah engkau nanti menjadi perempuan yang bahagia, perempuan yang merdeka.”















[1] Hlm. 7
[2] Hlm. 9
[3][3]Hlm. 113
[4] Hlm. 130
[5] Hlm. 148
[6] Hlm. 151
[7] Hlm. 155
[8] Hlm. 191
[9] Hlm. 193
[10] Hlm. 11-13
[11] Hlm. 14

Komentar

  1. bisa bagi info ga min dimana bisa dapat hard copy dari buku ini pleseee

    BalasHapus
  2. rada susah,,, sya cuma punya copy-annya.. itu juga udah dikasih ke orang hehe..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah ADAB BERTETANGGA

DIMENSI ALIRAN PEMIKIRAN ISLAM

“Sejarah Perkembangan Psikologi dan Aliran-alirannya