"SARINAH" : Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia
A. Pendahuluan
Siapa itu Sarinah? Begitu pentingkah ia hingga namanya diabadikan dalam sebuah buku karya Bung Karno ? Ya,Sarinah adalah pengasuh Bung Karno saat masih anak-anak.Dari dialah Sukarno menerima banyak rasa cinta dan rasa kasih. Dari Sarinah pula Sukarno mendapat banyak pelajaran mencintai “orang kecil” mencintai rakyat jelata. Sarinah sendiri “orang kecil”, tetapi budinya sangat besar.Ia menjadi bagian dari keluarga Sukarno. Ia tidak kawin. Ia tinggal, makan, dan bekerja di rumah keluarga Bung Karno. Sekalipun begitu, Sarinah tidak membayar, tidak pula mendapatkan upah.Ajarannya itu bergulir setiap pagi,ketika Sarinah memasak ,Sukarno selalu duduk di samping Sarinah. Pada saat-saat seperti itulah Sarinah berpidato, “Karno, pertama engkau harus mencintai ibumu. Kemudian, kamu harus mencintai rakyat jelata. Engkau harus mencintai manusia umumnya.”Pidato itu yang dicekokkan Sarinah setiap pagi. Pidato Sarinah itulah yang mengisi otak dan hati Bung Karno, sebelum makanan mengisi perutnya.
Buku
ini sebagian besar merupakan kumpulan materi yang disampaikan Bung Karno ketika
mengadakan “kursus wanita” di Yogyakarta, sekitar tahun 1948 – 1949 sesudah
beliau pindah kediaman dari Jl. Pegangsaan Timur ke Istana Negara Yogyakarta.
Pada
masa itu, Bung Karno begitu prihatin, karena ranah pergerakan belum banyak
menyentuh aspek wanita. Padahal, Bung Karno begitu yakin, kita tidak dapat
menyusun negara dan tidak dapat menyusun masyarakat, jika (di antara banyak
soal) kita tidak mengerti soal wanita. Buku Sarinah memaparkan wawasan
Sukarno yang teramat luas dan mendalam sebagai bahan argumen tingkat ‘tinggi’
dalam meyakinkan perlunya peran perempuan dalam ‘perjuangan’ negara.”Soal
perempuan bukanlah soal buat perempuan saja, tetapi soal masyarakat, soal
perempuan dan laki-laki. Dan sungguh soal masyarakat dan Negara yang amat
penting.”
[Sarinah, hlm. 15]
B. Pembahasan
Sejak
awal, Sukarno rupanya sadar betul betapa fatalnya kedudukan perempuan Indonesia
bila dianggap ‘tidak ada’ peran lain selain peran pendamping laki-laki. Ia juga
resah karena soal perempuan, saat itu belum pernah dipelajari dengan mendalam
oleh pergerakan di Indonesia. keresahan ini
muncul Bung Karno kerap bertamu ke rumah penduduk tanpa pemberitahuan
sebelumnya. Seringkali hanya tuan rumah lah yang menerima kunjungan Sukarno,
sementara nyonya rumah tak ikut mendampingi. Kalau toh ditanya soal ini, tuan
rumah kerap berdalih, ..sayang seribu sayang, ia kebetulan tidak ada di
rumah. Menengok bibinya yang sedang sakit...[1]
Kejadian
serupa itu dialami Bung Karno beberapa kali, hingga suatu saat ia menangkap
bayangan seorang perempuan dari balik tabir yang tergantung di pintu pemilik
rumah. Sejak saat itu, benak sang proklamator dihantui ketakutan, ..bilakah
semua Sarinah-Sarinah mendapat kemerdekaan? Meski kemudian ia
mempertanyakan kembali pertanyaannya itu, ..tetapi, kemerdekaan yang
bagaimana? Kemerdekaan a la Kartini? Kemerdekaan a la Chalidah Hanum?
Kemerdekaan a la Kollontay?[2]
I.
Matriarchat vs Patriarchat
Di
masa awal peradaban, banyak lelaki pergi berburu sementara perempuan tinggal di
tempat. Dari nalurinya untuk melindungi diri serta anak-anaknya, sang perempuan
mulai membuat rumah pertama kalinya. Perempuan juga yang pertama mulai menanam
dan membuat peralatan rumah tangga.Inilah awal Matriarchat, Anak menjadi milik sang ibu. Hal ini dijelaskan karena
tidak dapat diketahui pasti siapakah ayah daripada si anak. Posisi lelaki dan
somah sama seperti lelaki dan sarang di keluarga lebah. Perempuan juga menjadi
produsen yang terpenting, yang menentukan selamat atau tidak selamatnya
masyarakat. Perempuan kemudian yang membuat masyarakat nomad menjadi masyarakat
yang berdiam.
Keadaan itu bergeser ketika lelaki ikut menetap dan tidak lagi ikut berburu. Saat itulah terjadi perpindahan aset, ternak dari perempuan ke lelaki. Ditengarai perpindahan aset tersebut tidak terjadi begitu saja, tapi ada perlawanan dari perempuan terhadap lelaki. Peralihan aset inilah yang menjadi asal muasal lahirnya budaya Patriarchat. Engels menjelaskan bahwa kemudian lelaki membutuhkan pewaris. Lelaki sudah bekerja keras untuk memperbanyak ataupun melestarikan kekayaan mereka. Mereka membutuhkan kepastian bahwa kerja keras mereka tidak sia-sia. Karena itu kemudian aturan bahwa hanya ada satu perempuan dan banyak lelaki menjadi berbalik. Kali ini perempuan hanya bisa memiliki satu lelaki. Sementara lelaki bisa memiliki banyak perempuan. Engels mengatakan bahwa perpindahan hukum peribuan pada perbapaan merupakan kekalahan perempuan yang paling hebat dalam sejarah kemanusiaan.
Perempuan menjadi mahluk kelas dua, dipinggirkan oleh jenis kelamin lawannya. Bahkan setelah menikah dan mempunyai anak, dia menjadi mahluk kelas tiga. Harus mengalah pada suami dan anak-anaknya. Yang paling parah ketika posisinya sudah tidak lagi dianggap sebagai suatu mahluk hidup tapi sebagai benda mati. Dalam beberapa budaya, terjadi pelimpahan istri pada keluarga suami bila sang suami meninggal. Lelaki merasa memiliki perempuan karena lelaki telah membeli perempuan melalui mas kawin yang harus dibayar saat perkawinan. Terjadi perubahan paradigma perempuan. Sexes/jenis kelamin mereka menjadi fungsi ekonomi. Mereka mulai memoles kulitnya dengan semua jenis ramuan kecantikan, berdandan, merapikan diri, dipingit guna berdaya jual bagi para pembelinya.
Keadaan itu bergeser ketika lelaki ikut menetap dan tidak lagi ikut berburu. Saat itulah terjadi perpindahan aset, ternak dari perempuan ke lelaki. Ditengarai perpindahan aset tersebut tidak terjadi begitu saja, tapi ada perlawanan dari perempuan terhadap lelaki. Peralihan aset inilah yang menjadi asal muasal lahirnya budaya Patriarchat. Engels menjelaskan bahwa kemudian lelaki membutuhkan pewaris. Lelaki sudah bekerja keras untuk memperbanyak ataupun melestarikan kekayaan mereka. Mereka membutuhkan kepastian bahwa kerja keras mereka tidak sia-sia. Karena itu kemudian aturan bahwa hanya ada satu perempuan dan banyak lelaki menjadi berbalik. Kali ini perempuan hanya bisa memiliki satu lelaki. Sementara lelaki bisa memiliki banyak perempuan. Engels mengatakan bahwa perpindahan hukum peribuan pada perbapaan merupakan kekalahan perempuan yang paling hebat dalam sejarah kemanusiaan.
Perempuan menjadi mahluk kelas dua, dipinggirkan oleh jenis kelamin lawannya. Bahkan setelah menikah dan mempunyai anak, dia menjadi mahluk kelas tiga. Harus mengalah pada suami dan anak-anaknya. Yang paling parah ketika posisinya sudah tidak lagi dianggap sebagai suatu mahluk hidup tapi sebagai benda mati. Dalam beberapa budaya, terjadi pelimpahan istri pada keluarga suami bila sang suami meninggal. Lelaki merasa memiliki perempuan karena lelaki telah membeli perempuan melalui mas kawin yang harus dibayar saat perkawinan. Terjadi perubahan paradigma perempuan. Sexes/jenis kelamin mereka menjadi fungsi ekonomi. Mereka mulai memoles kulitnya dengan semua jenis ramuan kecantikan, berdandan, merapikan diri, dipingit guna berdaya jual bagi para pembelinya.
Pada
bangsa Baskia di Eropa dan Abipon di Amerika Selatan, bahkan ada kebudayaan
yang disebut couvade. Pada ritual couvade, perempuan melahirkan sendirian.
Setelah proses melahirkan selesai, sang perempuan harus bergegas keluar dan
mengerjakan tugas sehari-harinya seolah tidak habis beranak. Gantinya, sang
suami yang kemudian berbaring di ranjang dan berteriak-teriak seolah kesakitan
dan semua orang pun datang berbondong-bondong menghibur dan berusaha meredakan
kesakitannya. Kodrat perempuan untuk melahirkan bahkan dirampas dalam komunitas
ini. Kemampuan perempuan untuk melahirkan tidak diakui oleh mereka. Komunitas
tersebut hanya menganggap bahwa rahim perempuan merupakan tempat penitipan
benih sang lelaki.
Terjadi lagi perubahan posisi perempuan saat terjadi revolusi industri. Perempuan mulai keluar dari rumah dikarenakan tuntutan ekonomi saat itu dan juga karena para lelaki banyak pergi berperang. Saat itu menurut ada tiga golongan perempuan,- perempuan sundal, perempuan kelas atas dan kuda beban. Havelock Ellis menyebut abad 19, awal Revolusi Industri merupakan abadnya sundal.Perempuan sundal muncul karena ada segolongan perempuan yang tidak memiliki kesempatan bekerja sebagai buruh. Kemudian perempuan kelas atas atau yang disebut para ridder menjadi perempuan pengangguran. Mereka memiliki banyak pembantu di sekelilingnya, sehingga mereka tidak perlu melakukan apapun. Mereka juga belum boleh bekerja karena dengan bekerja, mereka dianggap turun kelas/derajat. Jadilah mereka sekumpulan perempuan yang akhirnya gemar berkumpul dan bertukar cerita untuk membunuh waktu.Ada lagi satu golongan perempuan yang tersisa yaitu golongan perempuan kuda beban. Henriette. R. Holst menjelaskan bahwa perempuan tampak seolah kuda yang harus bekerja di rumah karena cintanya pada keluarga sekaligus juga bekerja di tempat kerja.
Ulasan diatas merupakan imbas dari patriarchat..
Terjadi lagi perubahan posisi perempuan saat terjadi revolusi industri. Perempuan mulai keluar dari rumah dikarenakan tuntutan ekonomi saat itu dan juga karena para lelaki banyak pergi berperang. Saat itu menurut ada tiga golongan perempuan,- perempuan sundal, perempuan kelas atas dan kuda beban. Havelock Ellis menyebut abad 19, awal Revolusi Industri merupakan abadnya sundal.Perempuan sundal muncul karena ada segolongan perempuan yang tidak memiliki kesempatan bekerja sebagai buruh. Kemudian perempuan kelas atas atau yang disebut para ridder menjadi perempuan pengangguran. Mereka memiliki banyak pembantu di sekelilingnya, sehingga mereka tidak perlu melakukan apapun. Mereka juga belum boleh bekerja karena dengan bekerja, mereka dianggap turun kelas/derajat. Jadilah mereka sekumpulan perempuan yang akhirnya gemar berkumpul dan bertukar cerita untuk membunuh waktu.Ada lagi satu golongan perempuan yang tersisa yaitu golongan perempuan kuda beban. Henriette. R. Holst menjelaskan bahwa perempuan tampak seolah kuda yang harus bekerja di rumah karena cintanya pada keluarga sekaligus juga bekerja di tempat kerja.
Ulasan diatas merupakan imbas dari patriarchat..
Soekarno
berpendapat bahwa hukum peribuan adalah hukum primitif, hukum suatu rakyat yang
belum tinggi tingkat kemajuannya melihat bukti-bukti sisa hukum peribuan di
daerah primitif di negerinya sendiri. Soekarno juga berpendapat bahwa hukum
yang masih primitif itu tidak mungkin baik untuk masyarakat modern dan pantas
diganti dengan hukum yang lebih sesuai dengan masyarakat modern. Sementara
hukum perbapaan merupakan suatu hukum kemajuan. Dengan hukum perbapaan dapatlah
berkembang individualisme yang perlu untuk berkembangnya masyarakat. Marx
menamakan perpindahan dari hukum peribuan ke hukum perbapaan itu sebagai suatu
“perpindahan yang paling sesuai dengan kodrat alam”, dan Engels menamakannya
sebagai “kemajuan dalam sejarah yang besar”. Hanya sayang sekali, Soekarno sepakat
bahwa dalam kemajuannya hukum ini dibarengi dengan perbudakan, perbudakan satu
pihak guna menegakkan pertuanan pihak lain.
II.
Perempuan
bergerak
Keadaan
perempuan yang ditindas oleh pihak lelaki itu akhirnya membangunkan dan
membangkitkan satu pergerakan yang berusaha meniadakan segala penindasan itu.
Namun, pergerakan ini bertingkat-tingkat alias berevolusi.Gerakan ini dibagi
menjadi tiga tingkatan :
1. Om
den
man
te
bekoren
(hanya untuk memikat laki-laki)[3],tingkatan
perserikatan yang anggotanya dari kalangan kaum perempuan kelas atas. Tujuannya
untuk memperhatikan urusan rumah tangga,- anak-anak, pakaian, dapur serta ilmu
kecantikan dan praktiknya.Tokoh yang paling terkenal adalah Madame de Maintenon
di Prancis dan A.H. Francke di Jerman.
2. Feminisme, tingkatan yang dengan
sadar menuntut persamaan hak, persamaan derajat dengan kaum lelaki.Tokoh-tokohnya
yaitu Mercy O. Warren, A. Smith Adams, Madame Roland, Olympe de Gouges, Rose
Lacombe dsb. yang menuntut supaya perempuan diberi hak-hak warga negara. Perjuangan
ini, terutama Olympe de Gouges menuntut pengorbanan, dari mulai dikatakan
sundal, perempuan yang telah melenceng keluar dari relnya, digambarkan
karikatur yang tidak jelas jenis kelaminnya. Sampai akhirnya, kepala Olympe de
Gouges ditebas Guilottine dalam keadaan tersenyum karena dituduh anti revolusi.[4]
Walaupun pada mulanya aksi perempuan di perbagai
negeri berjalan sendiri, di tahun 1893, berdirilah Dewan Perempuan
Internasional yang memiliki 50 cabang di berbagai negara. Lebih radikal lagi
dari Dewan Perempuan Internasional, yaitu suatu badan lain yang bernama
‘Alliance for Woman Suffrage and Equal Citizenship’ yang menuntut persamaan hak
warga negara anggotanya adalah perempuan kelas atas dengan tuntutan perempuan
kelas mereka. Menurut ideologi mereka, masyarakat hanya memiliki satu cacat,
yaitu bahwa kaum lelaki (tentunya kaum lelaki mereka) tidak memperlakukan
mereka secara adil. Bagi perempuan kelas bawah, pergerakan feminisme itu tentu
tidak memuaskan. Bagi perempuan kelas bawah, feminisme itu tidak memberi
pemecahan soal malahan sering menjadi lawan dalam perjuangannya. Perempuan
kelas bawah mencari kemerdekaan, bukan saja kemerdekaan politik tapi juga
ekonomi dan sosial.[5]
3. Pergerakan perempuan yang didalam aksi sosialis
hendak mendatangkan satu dunia baru, yang di dalamnya terdapat perempuan dan
lelaki yang sama-sama mendapatkan kebahagiaan, Satu Dunia Baru tempat perempuan
bukan saja sama haknya dengan lelaki tapi juga tidak menderita oleh karena di
dalam dunia itu ada sintesis antara pekerjaan masyarakat dan pekerjaan rumah
tangga. Karena itu, dalam aksinya sendiri, tidak bisa dikatakan pergerakan
perempuan tingkat ketiga, karena kedua sekse bersama-sama berjuang. Seperti
yang diuraikan oleh Lily Braun, seorang perempuan sosialis adalah penghargaan
kerja pada kaum perempuan kelas atas yang kurang kerja dan pada kaum perempuan
proletar yang diperbudak oleh kerja. Ada tiga jalan dalam sosialisme yaitu, aksi serikat
pekerja, aksi kooperasi dan aksi partai politik.[6]
Awalnya kehadiran perempuan di ketiga jalan ini sempat diragukan oleh pra pria.
Tetapi kelamaan datang pula perubahan dalam kekolotan kaum lelaki.Tokoh yang
terkenal adalah August Bebel yang berpendapat bahwa soal perempuan bertalian
erat dengan soal sosial. perempuan tidak mungkin merdeka, sebelum ia ekonomis
merdeka. Dan hal ini hanya bisa terjadi dalam hidup yang sosialistis.
Pergerakan ini juga terus menuntut hak pemilihan seperti pendahulunya. Bedanya,
kaum feminis menganggap hak perwakilan sebagai tujuan terakhir, sedangkan
perempuan sosialis menganggapnya sebagai salah satu alat semata-mata dalam
perjuangan menuju tatanan hidup baru yang berkesejahteraan sosial. Salah satu
tokoh lain adalah Clara Zetkin yang menulis majalah ‘Die Gleicheit’.[7]
Dia membentuk organisasi perempuan sosialis dan mengadakan kongresnya yang
pertama.
Benar
ada persamaan antara aliran kedua dan ketiga. Tetapi perbedaannya juga begitu
besar sehingga dua gerakan ini tak mungkin bersatu menjadi gelombang yang tak
terpisah. Posisi pergerakan ketiga itu tertera jelas dari hasil Konferensi
Perempuan Internasional pertama di Stuttgart bentukan dari Clara Zetkin.
Kalimatnya adalah sbb: ‘Perempuan-perempuan sosialis harus menjalankan
perjuangan untuk hak ini (hak pemilihan) tidak bersama-sama dengan perempuan-perempuan
borjuis tapi bersama dengan partai-partai sosialis. Pergerakan feminis nyata
tidak mampu memerdekakan perempuan sama sekali. Tuntutan persamaan hak semata
nyata masih meninggalkan satu soal yang belum selesai;- bagaimanakah
menghilangkan pertentangan antara pekerjaan masyarakat dan panggilan jiwa
sebagai istri dan ibu? Mana yang harus dilebihberatkan? pekerjaannya sebagai
seorang perempuan atau bersuamikah?
Kaum
feminis kemudian tampak lari dari kenyataan. Mereka meminta hak untuk
pekerjaan, namun toh ketika bekerja, pekerjaan itu akan dilepaskan lagi karena
ia akan memilih mengurus anaknya. Karena itu feminisme memang tidak mampu
memecahkan soal.
Oleh karena itu, dikalangan feminis sendiri kemudian lahir kaum neo-feminisme. Mereka bermaksud mengoreksi feminisme, namun koreksi mereka malah makin salah. Sebab diterangkan bahwa pokok neo-feminisme ialah pengakuan lebih dahulu bahwa tujuan hidup perempuan ialah (bagaimanapun juga) suami dan anak.Maka neo feminis bermaksud mendidik dan mempersiapkan perempuan agar sempurna dapat mengerjakan kewajibannya sebagai istri dan ibu. Neo feminisme tidak mengutamakan lagi pekerjaan dan persamaan hak. Gerakan ini kelihatan seperti gerakan tingkat kesatu. Pergerakan perempuan tampak seperti terlempar kembali ke duaratus tahun yang silam. Hal ini merupakan suatu pertanda ketidakmampuan gerakan untuk memecahkan persoalan.
Apa yang menyulitkan Sarinah untuk masuk secara bahagia ke dalam pekerjaan masyarakat (yang akhirnya toh ia masuki juga karena tuntutan perut atau hasrat beraktualisasi)? Sebabnya adalah bahwa rumah tangga terlalu bersifat perusahaan sendiri. Pekerjaan untuk keperluan rumah tangga itu terlalu ketat dalam lingkungan rumah. Inilah yang merantai Sarinah pada kewajiban tetek bengek dalam rumah tangga. Inilah yang menyebabkan pertentangan, retak antara cinta keibuan dan pekerjaan masyarakat. Pertentangan ini dapat kita lenyapkan bila sifat rumah tangga yang terlalu bersifat perusahaan sendiri itu dioperkan sebagian besar pada umum, kepada masyarakat atau dalam tanggungan kolektivitas.
Bung Karno mengkritik contoh lain yang lebih politis yaitu Alliance for Women Sufferage and Equal Citizenship, yang pertama kali berkongres di Berlin pada tahun 1904, yang menurutnya hanya menuntut hak persamaan dalam pekerjaan dan pemilihan umum, namun melewatkan soal ketidak-adilan sosial, yaitu soal nasib perempuan miskin.[8]Sukarno mengungkapkan bagi perempuan jelata, pergerakan feminisme itu tidak memuaskan karena tidak memberi solusi. Mereka, wanita rakyat jelata itu mencari kemerdekaan, bukan saja kemerdekaan politik, tetapi juga ekonomi.[9] Jangan heran kalau Bung Karno mengerti mengapa perempuan jelata menolak pergerakan feminis. Intinya, Bung Karno berargumen, di tahap awal, perjuangan perempuan hanya berkepentingan mencari persamaan hak saja dengan kaum lelaki, dan perjuangan perempuan pun jadinya ‘sekedar’ melawan laki-laki. Cara itu, menurut Sukarno, tidak mempertimbangkan susunan masyarakat, maupun membandingkan strata sosial di dalam masyarakat, apalagi mengejar keadilan sosial.
Oleh karena itu, dikalangan feminis sendiri kemudian lahir kaum neo-feminisme. Mereka bermaksud mengoreksi feminisme, namun koreksi mereka malah makin salah. Sebab diterangkan bahwa pokok neo-feminisme ialah pengakuan lebih dahulu bahwa tujuan hidup perempuan ialah (bagaimanapun juga) suami dan anak.Maka neo feminis bermaksud mendidik dan mempersiapkan perempuan agar sempurna dapat mengerjakan kewajibannya sebagai istri dan ibu. Neo feminisme tidak mengutamakan lagi pekerjaan dan persamaan hak. Gerakan ini kelihatan seperti gerakan tingkat kesatu. Pergerakan perempuan tampak seperti terlempar kembali ke duaratus tahun yang silam. Hal ini merupakan suatu pertanda ketidakmampuan gerakan untuk memecahkan persoalan.
Apa yang menyulitkan Sarinah untuk masuk secara bahagia ke dalam pekerjaan masyarakat (yang akhirnya toh ia masuki juga karena tuntutan perut atau hasrat beraktualisasi)? Sebabnya adalah bahwa rumah tangga terlalu bersifat perusahaan sendiri. Pekerjaan untuk keperluan rumah tangga itu terlalu ketat dalam lingkungan rumah. Inilah yang merantai Sarinah pada kewajiban tetek bengek dalam rumah tangga. Inilah yang menyebabkan pertentangan, retak antara cinta keibuan dan pekerjaan masyarakat. Pertentangan ini dapat kita lenyapkan bila sifat rumah tangga yang terlalu bersifat perusahaan sendiri itu dioperkan sebagian besar pada umum, kepada masyarakat atau dalam tanggungan kolektivitas.
Bung Karno mengkritik contoh lain yang lebih politis yaitu Alliance for Women Sufferage and Equal Citizenship, yang pertama kali berkongres di Berlin pada tahun 1904, yang menurutnya hanya menuntut hak persamaan dalam pekerjaan dan pemilihan umum, namun melewatkan soal ketidak-adilan sosial, yaitu soal nasib perempuan miskin.[8]Sukarno mengungkapkan bagi perempuan jelata, pergerakan feminisme itu tidak memuaskan karena tidak memberi solusi. Mereka, wanita rakyat jelata itu mencari kemerdekaan, bukan saja kemerdekaan politik, tetapi juga ekonomi.[9] Jangan heran kalau Bung Karno mengerti mengapa perempuan jelata menolak pergerakan feminis. Intinya, Bung Karno berargumen, di tahap awal, perjuangan perempuan hanya berkepentingan mencari persamaan hak saja dengan kaum lelaki, dan perjuangan perempuan pun jadinya ‘sekedar’ melawan laki-laki. Cara itu, menurut Sukarno, tidak mempertimbangkan susunan masyarakat, maupun membandingkan strata sosial di dalam masyarakat, apalagi mengejar keadilan sosial.
III.
Sarinah : Sosok Perempuan Pejuang
Indonesia
Dari kutipan itu lalu dikembangkan bahwa ternyata pemikiran
bahwa perempuan termasuk perempuan yang rendah harus dihilangkan karena
perempuan pun manusia yang bisa berkarya. Dan dirasakan peran perempuan
terutama dalam menyokong kehidupan keluarga pada khususnya dan masyarakat atau
negara pada umumnya telah dirasakan besar peranannya. Lalu beliau mengemukakan
pemikirannya tentang tingkatan pergerakan perempuan yang beliau sadur dari
pemikirannya tentang perkembangan negara yang ideal menurutnya.
Dari ketiga tingkatan pergerakan ini Soekarno juga ingin
mengajak seluruh perempuan Indonesia, khususnya pada masa dimana Indonesia baru
saja menghirup udara kemerdekaan, untuk bersama-sama bahu membahu membangun dan
mengisi kemerdekaan dengan karya-karya terbaik dari laki-laki dan perempuan
sebagai anak negeri. Dan juga menggugah kesadaran para perempuan Indonesia yang
pada saat itu telah memasuki babak pengisian kemerdekaan.
Telah dijelaskan diatas bahwa perempuan akan mencapai suatu
kemerdekaan apabila mereka mau bersama-sama melakukan suatu geraka revolusioner
menuju suatu tatanan mayarakat sosialis yang bertujuan mencapai suatu keadaan
kesejahteraan sosial. Masyarakat sosialis ditandai oleh beberapa keadaan,
menurut Soekarno, diantaranya, adanya pabrik yang kolektif, adanya
industrialisme yang kolektif, adanya produksi yang kolektif, adanya pendidikan
yang kolektif, sosialisme berarti adanya banyak automobil, adanya radio, adanya
telepon, adanya telegrap, adanya kereta api, adanya listrik, adanya buku-buku,adanya
ilmu tabib, adanya sekolah rendah, adanya sekolah tinggi, adanya traktor, adanya
irigasi dll.
Kaum perempuan harus
menyadari keberadaannya, dan tidak ada yang dapat membantu perempuan jika bukan
datang dari dalam diri mereka sendiri. Kesadaran harus muncul dari dalam diri
kaum perempuan sehingga mereka sadar akan kewajiban dan hak untuk bebas. Dan
dengan munculnya kesadaran akan eksistensi perempuan dalam pembangunan dan
perjuangan maka secara bahu membahu bersama laki-laki bekerja sama dalam
emwujudkan suatu persatuan nasional guna mencapai sutau masyarakat sosialis
yang utuh.
C. Kesimpulan
Dari
penjelasan diatas maka dapat dilihat bahwa ide pokok dari penulisan buku
Sarinah ini, soekarno ingin mengangkat peran perempuan yang pada awalnya kurang begitu berperan, dan
ini dibuktikan dengan perkembangan sejarah dan keadaan perempuan diberbagai
negara. Disebutnya pemikiran Henriette Roland Holst yang menguraikan dilema
perempuan saat harus memilih peran sebagai ibu atau sebagai pekerja. Bung Karno
juga lantang menentang pergerakan feminisme Eropa yang menurutnya, mau
menyamaratakan saja perempuan dengan laki-laki (h.11). Ia mendukung
gagasan Ki Hadjar Dewantara yang mengingatkan agar bangsa Indonesia tidak
tergesa-gesa meniru cara moderen atau cara Eropa, meski jangan pula terikat
oleh rasa konservatif, melainkan mencocokkan segala hal sesuai dengan kodratnya.[10]
Lalu Soekarno juga mengemukakan adanya tiga tipe pergerakan
yang disangkutkan dengan pergerakan perempuan, dari ketiga tingkat pergerakan
ini Soekarno mengemukakan bahwa tingkat pergerakan sosialis-lah yang paling
utama atau yang paling baik karena itu merupakan suatu cita-cita yang harus
dicapai, karena menurutnya didalam masyarakat sosialis itulah perempuan dapat
bereksistensi secara bebas dan merdeka. Maka dari itu seperti yang diungkapkan
oleh Kierkegaard bahwa perempuan harus berani untuk menjalani proses “menjadi”
atau mewujudkan cita-citanya itu agar menjadi kenyataan.
Tak
lupa, Sukarno juga meninjau posisi perempuan menurut ajaran agama Islam. Saya
beragama Islam, saya cinta Islam, tetapi saya bukan ahli fiqih. Bolehlah saya
katakan di sini, di dalam masyarakat Islam pun masih ada soal perempuan. Kesan
yang saya dapat, sama dengan kesan Frances Woodsmall sesudah beliau mempelajari
posisi perempuan di dalam Islam, yakni, soal perempuan adalah justru bagian
yang “most debated”[11]
Ucapan Soekarno yang perlu menjadi perenungan kaum perempuan
Indonesai saat ini adalah :
” Perempuan Indonesia, kewajibanmu telah terang! Sekarang
ikutlah serta mutlak dalam usaha menyelamatkan Republik, dan nanti jika
Republik telah selamat, ikutlah serta mutlak dalam usaha menyusun Negara
Nasional. Jangan ketinggalan didalam revolusi Nasional ini dari awal sampai
akhirnya, dan jangan ketinggalan pula nanti didalam usaha menyusun masyarakat
keadilan sosial dan kesejahteraan sosial. Didalam masyarakat keadilan sosial
dan kesejahteraan sosial itulah engkau nanti menjadi perempuan yang bahagia,
perempuan yang merdeka.”
bisa bagi info ga min dimana bisa dapat hard copy dari buku ini pleseee
BalasHapusrada susah,,, sya cuma punya copy-annya.. itu juga udah dikasih ke orang hehe..
BalasHapus